Senin, 23 Januari 2012
KEPULANGAN WANITA DARI MESJID
Jika Imam Salam, hendaklah wanita cepat-cepat keluar dari Masjid. Segera pulang kerumah.
Adapun laki-laki, masih tetap duduk di Masjid agar mereka TIDAK BERBARENGAN dengan kepulangan wanita.
Hal ini sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallohu ‘anha, “Sesungguhnya kaum wanita, mereka dahulu apabila Imam selesai sholat membaca salam, maka kaum wanita segera berdiri untuk pulang. Adapun Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam dan kaum laki-laki yang sholat masih tetap duduk di Masjid sampai waktunya pulang. Apabila Rosulullah berdiri, maka berdiri pula kaum laki-laki.” HR. Bukhari
Berkata Imam Az-Zuhri, “Kami berpendapat, wallohu a’lam, hal itu dilakukan oleh kaum laki-laki agar mereka tidak berbarengan dan berpapasan dengan kaum wanita.”
Berkata Imam Asy-Syaukani [Nailul Author, 2/326], “dari hadits diatas menunjukkan bahwa disukai bagi Imam Sholat untuk memperhatikan keadaan makmumnya dan hendaklah imam menjaga dan berhati-hati, serta menjauhi tempat-tempat atau faktor-faktor terjadinya fitnah dalam jamaah makmumnya. Dimakruhkan ikhtilatnya laki-laki dan wanita di jalan (menuju dan pulang dari Masjid).”
Adapun laki-laki, masih tetap duduk di Masjid agar mereka TIDAK BERBARENGAN dengan kepulangan wanita.
Hal ini sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallohu ‘anha, “Sesungguhnya kaum wanita, mereka dahulu apabila Imam selesai sholat membaca salam, maka kaum wanita segera berdiri untuk pulang. Adapun Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam dan kaum laki-laki yang sholat masih tetap duduk di Masjid sampai waktunya pulang. Apabila Rosulullah berdiri, maka berdiri pula kaum laki-laki.” HR. Bukhari
Berkata Imam Az-Zuhri, “Kami berpendapat, wallohu a’lam, hal itu dilakukan oleh kaum laki-laki agar mereka tidak berbarengan dan berpapasan dengan kaum wanita.”
Berkata Imam Asy-Syaukani [Nailul Author, 2/326], “dari hadits diatas menunjukkan bahwa disukai bagi Imam Sholat untuk memperhatikan keadaan makmumnya dan hendaklah imam menjaga dan berhati-hati, serta menjauhi tempat-tempat atau faktor-faktor terjadinya fitnah dalam jamaah makmumnya. Dimakruhkan ikhtilatnya laki-laki dan wanita di jalan (menuju dan pulang dari Masjid).”
Wahai Wanita Muslimah,
Wahai Wanita Muslimah,
Waspadailah da’i-da’i jelek dan penyeru kemajuan ‘emansipasi wanita’, yang dengan tipu daya dan langkah kaki mereka, berusaha untuk merusak muslimah dan mengeluarkan muslimah dari menjaga pakaiannya yang syar’i dan menjaga kehormatan dirinya, menjadi wanita yang ‘telanjang’ dan mengumbar kehormatannya dengan segala cara dan sarana.
Bila kita perhatikan, banyak da’i-da’i jelek yang melecehkan hijab wanita muslimah, bahwa itu menghambat kemajuan wanita, wanita tidak bisa bergerak bebas, bahwa hijab itu hanya budaya Arob saja.
Apa yang mereka hasilkan ternyata luar biasa. Banyak wanita muslimah terjatuh dalam ‘emansipasi wanita’, membuka pakaiannya tanpa ada rasa malu sedikitpun.
Padahal WAJIB bagi muslimah untuk menutup auratnya.
Bila mereka beralasan, “yang penting hatinya baik…,” padahal yang akan terjadi adalah hatinya akan semakin mati karena meninggalkan kewajiban dari Alloh ta’ala.
Jadilah anda wanita yang bangga dengan agamanya, merasa mulia dengan agama dan aqidahnya. Jangan malu untuk menampakkan syiar keagamaan anda. Jangan minder untuk memakai cadar/niqob.
Jangan engkau seperti bunglon, yang berubah-ubah mengikuti lingkungannya.
Waspadailah da’i-da’i jelek dan penyeru kemajuan ‘emansipasi wanita’, yang dengan tipu daya dan langkah kaki mereka, berusaha untuk merusak muslimah dan mengeluarkan muslimah dari menjaga pakaiannya yang syar’i dan menjaga kehormatan dirinya, menjadi wanita yang ‘telanjang’ dan mengumbar kehormatannya dengan segala cara dan sarana.
Bila kita perhatikan, banyak da’i-da’i jelek yang melecehkan hijab wanita muslimah, bahwa itu menghambat kemajuan wanita, wanita tidak bisa bergerak bebas, bahwa hijab itu hanya budaya Arob saja.
Apa yang mereka hasilkan ternyata luar biasa. Banyak wanita muslimah terjatuh dalam ‘emansipasi wanita’, membuka pakaiannya tanpa ada rasa malu sedikitpun.
Padahal WAJIB bagi muslimah untuk menutup auratnya.
Bila mereka beralasan, “yang penting hatinya baik…,” padahal yang akan terjadi adalah hatinya akan semakin mati karena meninggalkan kewajiban dari Alloh ta’ala.
Jadilah anda wanita yang bangga dengan agamanya, merasa mulia dengan agama dan aqidahnya. Jangan malu untuk menampakkan syiar keagamaan anda. Jangan minder untuk memakai cadar/niqob.
Jangan engkau seperti bunglon, yang berubah-ubah mengikuti lingkungannya.
Perawakan dan sifat-sifat Muhammad
TEKS UUD 1945
TEKS UUD 1945
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan inikemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan inikemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
YANG DATANG DAN YANG PERGI
YANG DATANG
DAN YANG PERGI
Jam dinding
menunjukkan tepat jam dua belas malam. Entah kenapa
tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku
yang masih lelap dalam tidurnya.Kubelai perlahan anak rambutnya yang tergerai
di dahinya. Kamu cantik
Ratri...., bisikku perlahan.
Tanpa
terasa, usai pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ke tiga
tapi kami belum juga dikaruniai anak. Ya Allah...karuniakan
kepada kami anak,
seorangpun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam di
atas sajadah.
Tapi entahlah hikmah apa yang tersembunyi di balik semua ini.
Aku yakin,
Allah menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak. Ya,...itu
pasti !!
"Ratri...,
bangun... sholat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan. Ia
menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah,
seharian mengurus
rumah. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih
ditambah lagi
kesibukannya menulis di media cetak. Ah... aku sayang padamu
Ratri....
Akhirnya,
aku beranjak sendirian. Berwudhu an kemudian tenggelam dalam
sholat malamku yang panjang. Dan selalu do'a itu yang aku
dahulukan.
Rabbahuma lain aataitana shoolihan lanakunanna minasy
syaakiriin. Ya Allah,
jika Engkau memberi kami anak yang sholih, tentu kami
termasuk orang2 yang
bersyukur.
Jam dinding
berdentang tiga kali. Ketika aku menghabiskan tiga rakaat
terakhir witirku, kulihat Ratri sudah ada dibelakangku dengan
wajah merajuk.
Kutatap wajahnya dengan geli. "Kamu kenapa? Mulutnya
monyong begitu...?"
godaku. Ratri semakin merajuk.
"Si Mas mesti begitu...., ngak bangunin Ratri....,"
protesnya. Aku tersenyum
arif.
"Lah wong, kamu pules banget tidurnya. Mana Mas tega
bangunin..., tadi nulis
sampai jam sebelas 'kan? Mosok baru tidur satu jam, sudah
disuruh bangun
lagi..."
"Iya deeh..., tapi nanti temani Ratri muraja'ah Qur'an
yaa....," pintanya
manja.
"Inggih, sendiko dawuh....," jawabku dengan logat jawa kaku. Maklum besar
di betawi. Ratri tertawa geli mendengar jawabanku. Serentak
jemarinya yang
mungil beraksi menggelitik pinggangku.
"Ssssst...., sudah ah, sholat sana, nanti keburu
subuh....," elakku. Ratri
masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu.
Sering
kulihat Ratri termenung menatap ikan-ikan kecil di aquarium
kami. Matanya nanar menatap kosong ikan-ikan berwarna perak
itu. Ia betah diam
tanpa ekspresi seperti itu.
"Ssst...., Muslimah kok hobi bengong, siih..?"
bisikku persis di telinganya.
Ratri tersentak kaget. Pipinya bersemu merah, malu ketahuan
melamun.
"Enngg.... nggak kok, ini lho Mas..., ikannya
bertelur....," katanya perlahan
"Ck.... pura-pura, dari tadi Mas lihat matamu tak
berkedip, lama banget. Itu
bengong namanya, Non....," ku acak kepalanya gemas.
"Ikan saja bisa punya keturunan ya Mas...., kita
kapan?" tanyanya lirih,
hampir tak terdengar. Seketika mataku memanas. Leherku
tiba-tiba tercekat.
Oh, Allah...
"Yaa..., sabar dong Non...., insya Allah ada
hikmahnya....," tuturku,
mencoba tegar.
Ratri tersenyum manis, lalu menggamit lenganku menuju meja
makan. Tak lama
kemudian ia kembali berceloteh menceritakan aktivitasnya
seharian. Ah
Ratri... Ratri...
Ketika
pernikahan kami menginjak tahun kedua, kami sudah memerikasakan
diri seccara intensif pada dokter kandungan. Hasilnya kami
berdua normal !
Dokter cuma menyuruh kami untuk bersabar, berdo'a, dan
berusaha tentunya. Yah..
barangkali kami berdua memang sedang diuji.
"Nikah lagi saja, Maaas....," celetuk Ratri suatu
kali.
aku tersentak. Keturunan memang sangat kuharapkan. Tapi
membagi cintaku pada
Ratri dengan wanita lain, meski itu dibolehkan dalam islam,
apa aku sanggup ??
Kucubit pipi istriku perlahan. "Nggak takut
cemburu?" tanyaku menggodanya.
"Cemburu kan manusiawi Mas..., Aisyah juga cemburu sama
Khadijah, tapi bukan
cemburu masalahnya Mas..., kalau Mas punya istri lagi, kan
Ratri bisa ikut
membesarkan anak dari istri Mas...," tuturnya panjang
lebar.
"Kalau dia juga tidak bisa hamil ?"
"Ambil istri lagi...."
"Kalau belum punya anak juga ?"
"Ambil lagi..."
"Hussss...sembarangan !!" protesku pura-pura galak.
Kudekap kepala mungilnya
erat erat.
Hari ini
ulang tahun perkawinan kami yang keempat. Umurku sudah
duapuluh delapan tahun. Uban dikepalaku sudah belasan
jumlahnya. Ketika menikah
dulu Ratri bilang, Ubanku ada enam lembar!! Dan sampai saat
ini kami belum di
percaya Allah untuk menimang seorang anak. Tapi aku masih
cinta Ratri. Dan,
tidak akan pernah pudar.
Wajah Ratri yang oval dengan hidung yang
bangir dan mulutnya kelihatan
merah berseri-seri. Kulihat ia membawa sebuah nampan besar
yang tertutup ke
arah meja makan. Lalu ia menarik lenganku manja.
"Sini Mas....," ajaknya. Aku menurut saja.
"Happy fourth anniversary...," katanya, lembut.
Mataku berkaca-kaca.
perlahan kubuka nampan itu. Sebuah kue taart, romantis
sekali. Dan sebuah
amplop, dengan logo sebuah klinik. Keningku berkerut. Ketika
tanganku
bergerak hendak mengambil amplop tersebut, seketika Ratri
merebutnya.
"Makan dulu dooong....," protesnya. Aku cuma
menggeleng-gelengkan kepala,
sambil tersenyum. Tak urung kuraih pisau lalu,
"Bismillahirrohmanirrohiim...," kupotong taart itu.
Ratri tersenyum, ia
kelihatan bahagia sekali. Kutengadahkan tanganku meminta
amplop itu. Ratri
menggeleng. Makan dulu...., katanya. Ku garuk-garuk kepalaku
dengan gemas.
Ni, anak bikin penasaran juga.
Setelah
selesai menyantap potongan kue yang kumakan dengan dua kali
telan.
Dan Ratri protes karenanya. Kurenggut amplop di tangannya.
Dan
Subhanallah..., Maha suci Engkau wahai Rabb seru sekalian
alam !!! Ratri
hamil !!! Masya Allah...., setelah sekian tahun !!!
...Seketika aku
tersungkur sujud. Air mataku meleleh. Kudekap kepala Ratri erat-erat.
Air
mataku masih mngalir, menitik membasahi kepala Ratri. Ia
mendongak,
jemarinya menghapus air mataku.
"Mas menangis ?" tanyanya retoris. Aku mengangguk.
Ya, aku menangis ! Tangis
syukur ....
"Kok periksa ke dokter nggak bilang-bilang ?"
protesku.
"Biarin, nanti ngak surprise....," katanya.
Tiba-tiba aku merasa bersalah.
SAejak tahun ketiga pernikahan kami, aku tidak lagi rajin
mengikuti
tanggal-tanggal haid dan masa subur Ratri seperti dulu.
Kudekap Ratri makin
erat.
Sejak hari itu
, kesehatan Ratri menjadi perhatian utamaku. Aku sering
marah-marah kalau Ratri masih juga suka menulis sampai larut
malam. Ya,
tiba-tiba aku menjadi sangat cerewet.
******BERSAMBUNG********
Judul: YANG DATANG DAN YANG PERGI(2)
Dari: Chy
Tanggal: Tue Jan 30
****
Sembilan bulan,
lebih delapan hari. Rasanya hari itu tiba ...., tadi
pagi Ratri sudah mulas-mulas. Katanya mulasnya dimulai dari
punggung
menjalar sampai ke depan. Aku ribut setengah mati. Kuraih
gagang telpon. Aku
menelpon seorang teman untuk membawa mobil ke rumah. Ratri
masih mengeluh
mulas-mulas. Tiba-tiba keluar cairan, oh .... air ketubannya
sudah pecah !!
****
Di rumah sakit
aku begitu gelisah. Bapak ibu yang menungguiku cuma
mengeleng-gelengkan kepala. Maklum anak pertama, begitu kata
ibu. Ya Allah
.... entah kenapa aku tiba-tiba merasa ketakutan yang luar
biasa. Ya Allah,
selamatkanlah istri
dan anakku...., bisikku berulang kali.
"Bapak
Saiful Bahri ?" seorang dokter keluar dari ruang bersalin.
"Ya ....., saya dokter ...,"
sahutku cepat. Kuhampiri dokter itu.
"Ada
sedikit kelainan, harus dioperasi ...... Suster ! , tolong
bimbing Pak Saiful untuk mengisi formulir ini....," kata
dokter itu. Aku
tersentak kaget !
Operasi ?!? Astaghfirullah .....
"Tapi
...., istri saya tidak apa-apa 'kan dokter??" tanyaku
khawatir. Dokter itu terdiam.
"Berdo'alah ...," katanya pelan. Kugigit bibirku erat-erat.
Allah
..., selamatkan istri dan anakku......
Kuambil wudhu
dan sholat di musholla. Kuhabiskan gelisahku di sana.
Tiba-tiba terdengar tangis bayi.
"Anakku
....," desisku perlahan. Aku seperti dituntun nuraniku.
Bergegas keluar musholla.
"Bapak
Saiful Bahri ?"
"Ya,
dokter ..."
"Selamat,
bayinya perempuan, sehat, tiga setengah kilo, cantik
seperti ibunya.....," kata dokter itu.
"Alhamdulillah ...," desisku berulang-ulang.
"Istri
saya dokter ?"
Dokter itu
terdiam. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalar di
segenap hatiku. Kutatap mata dokter itu dengan tatapan penuh
tanya.
Tiba-tiba dokter itu menepuk bahuku perlahan, sementara
kepalanya pun
menggeleng perlahan pula. Mulutku ternganga seketika .....
"Maafkan...., saya sudah berusaha. Tapi Tuhan menghendaki
lain......," katanya.
Air mataku
berloncatan tanpa bisa dibendung.........
Dokter itu
perlahan membimbingku masuk ke ruang
bersalin. Aku
menurut saja tanpa rasa.
Sesosok tubuh
ditutup kain putih terbaring....... Perlahan dokter
itu membuka kain penutupnya. INNALILLAHI WA INNAILAIHI
ROJI'UUN ........
Wajah Ratri terlihat pucat. Tapi bibirnya tersenyum manis
..., maniiis
sekali. Kudekap kepala Ratri erat-erat ...., tangisku tak
tertahankan.....
"Sabar
.... sabar ...Pak ...," hibur dokter itu.
"Suster,
bawa kemari , anak Bapak Saiful ...," katanya lagi.
Seorang bayi
mungil yang masih merah disodorkan ke hadapanku.
Perlahan ... ku gendong dan kutatap ia ... . Dadaku masih
sesak karena tangis.
Kutatap bayi merah itu dan Ratri
berganti-ganti. Mereka begitu
mirip. Matanya..., hidungnya..., mulutnya..., Allahu Akbar
!!!
Rupanya inilah
hikmah itu, Ratri...., Allah memberi kesempatan
padaku untuk menemanimu selama empat tahun, untuk akhirnya
memanggilmu
setelah ia memberikan gantinya....
Ya, Allah
jangan biarkan hatiku berandai-andai..... seandainya saja
kami tidak mengharapkan anak, jika itu membawa kematian Ratri
.... Tidak,
ini semua takdir Mu ya Robbi ....
SELAMAT JALAN
RATRI ............................
***************Tammat*****************
PENDIDIKAN ISLAM HARUS BERAGAM
PENDIDIKAN
ISLAM HARUS BERAGAM
Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di
Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad
Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama,
hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang
terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar
haruslah mengajarkan “ajaran formal” tentang Islam. Termasuk dalam barisan ini
adalah dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari Universitas
Al-Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan “pendidikan Islam yang benar“
memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan
mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis
sendiri membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari
pendidikan Islam.
Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari
berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” yang menggunakan
simbol-simbol budaya jawa; sebagai “agen pembaharuan” yang memeperkenalkan
gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan
belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan
oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman
al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional
selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” yang terbagi dalam 14 macam
disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik
hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam
lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui
pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik
sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di
satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah “keharusan”
yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga
terdapat “benih-benih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di
sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang
perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, penulis pernah mengajukan
sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang
perlu adanya “study kawasan” tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya
Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam
di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di
kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini
diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s).
*******
Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada dua hal
yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah, pembaharuan
endidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam, dalam bahasa Arab taj’did
al-tarbiyah al-Islamiah dan al-hadasah, dalam liputan istilah pertama, tentu
saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus di
didik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara
penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan
mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat
dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan
apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam, contoh
paling mudahnya adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di
negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga
terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke-tahun yang melakukan
ibadah umroh/ Haji kecil.
Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Dengan kata lain,
pendidikan Islam tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di
sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah
non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, “semangat
menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar
sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Hal lain yang harus
diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat
Islam terhadap “tantangan modernisasi”, seperti pengentasan kemiskinan,
pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya
bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan”
responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu
justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan
hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban
yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran
struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan
ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai
tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu
sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan
baik.
******
Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu
banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan
non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi,
keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah
air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat
lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai
sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita
tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu
sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari
pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana
pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi
perjuangan pendidikan Islam.
Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan penjabaran
tarekat dan gerakan shalawat nabi, yang terjadi demikian cepat dimana-mana.
Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti itu sebenarnya berbicara sangat
nyaring, namun kita sendiri yang tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam
yang memperoleh kedamaian dengan ritual memuja nabi itu, dengan sendirinya
berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup nabi yang diketahuinya, yaitu
kepatuhan kepada ajaran Islam. Ritual itu tentu saja akan menyadarkan kembali
orang tersebut ,kepada kehidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (Juz’i)
belaka. Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan sosial” yang
tidak dapat kita pungkiri dan diabaikan.
Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti
dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan
yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai
hukum-hukumnya sendiri. Perkembangan keadaan, yang tidak memperhitungkan hal
ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka, dari tugas sebenarnya
yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap untuk mengabaikan keberagaman ini,
adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah
timbunan pasir tanpa menyadari badanya masih tampak. Jika kita masih bersikap
seperti itu, akibatnya akan menjadi sangat besar bagi perkembangan Islam di
masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan
keaneka-ragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan
perkembangan yang akan menentukan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, namun
gampang dirumuskan. Nyatanya memang benar demikian, bukan?
Langganan:
Postingan (Atom)