Senin, 23 Januari 2012

MASJID IL HARAM


KEPULANGAN WANITA DARI MESJID

Jika Imam Salam, hendaklah wanita cepat-cepat keluar dari Masjid. Segera pulang kerumah.
Adapun laki-laki, masih tetap duduk di Masjid agar mereka TIDAK BERBARENGAN dengan kepulangan wanita.
Hal ini sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah radhiyallohu ‘anha, “Sesungguhnya kaum wanita, mereka dahulu apabila Imam selesai sholat membaca salam, maka kaum wanita segera berdiri untuk pulang. Adapun Rosulullah sholallohu ‘alaihi wasallam dan kaum laki-laki yang sholat masih tetap duduk di Masjid sampai waktunya pulang. Apabila Rosulullah berdiri, maka berdiri pula kaum laki-laki.” HR. Bukhari

Berkata Imam Az-Zuhri, “Kami berpendapat, wallohu a’lam, hal itu dilakukan oleh kaum laki-laki agar mereka tidak berbarengan dan berpapasan dengan kaum wanita.”
Berkata Imam Asy-Syaukani [Nailul Author, 2/326], “dari hadits diatas menunjukkan bahwa disukai bagi Imam Sholat untuk memperhatikan keadaan makmumnya dan hendaklah imam menjaga dan berhati-hati, serta menjauhi tempat-tempat atau faktor-faktor terjadinya fitnah dalam jamaah makmumnya. Dimakruhkan ikhtilatnya laki-laki dan wanita di jalan (menuju dan pulang dari Masjid).”

Wahai Wanita Muslimah,

Wahai Wanita Muslimah,
Waspadailah da’i-da’i jelek dan penyeru kemajuan ‘emansipasi wanita’, yang dengan tipu daya dan langkah kaki mereka, berusaha untuk merusak muslimah dan mengeluarkan muslimah dari menjaga pakaiannya yang syar’i dan menjaga kehormatan dirinya, menjadi wanita yang ‘telanjang’ dan mengumbar kehormatannya dengan segala cara dan sarana.

Bila kita perhatikan, banyak da’i-da’i jelek yang melecehkan hijab wanita muslimah, bahwa itu menghambat kemajuan wanita, wanita tidak bisa bergerak bebas, bahwa hijab itu hanya budaya Arob saja.
Apa yang mereka hasilkan ternyata luar biasa. Banyak wanita muslimah terjatuh dalam ‘emansipasi wanita’, membuka pakaiannya tanpa ada rasa malu sedikitpun.
Padahal WAJIB bagi muslimah untuk menutup auratnya.
Bila mereka beralasan, “yang penting hatinya baik…,” padahal yang akan terjadi adalah hatinya akan semakin mati karena meninggalkan kewajiban dari Alloh ta’ala.
Jadilah anda wanita yang bangga dengan agamanya, merasa mulia dengan agama dan aqidahnya. Jangan malu untuk menampakkan syiar keagamaan anda. Jangan minder untuk memakai cadar/niqob.
Jangan engkau seperti bunglon, yang berubah-ubah mengikuti lingkungannya.

Perawakan dan sifat-sifat Muhammad

   Perawakan dan sifat-sifat Muhammad 

DENGAN duapuluh ekor unta  muda  sebagai  mas  kawin  Muhammad
melangsungkan  perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke
rumah  Khadijah  dalam  memulai  hidup  barunya   itu,   hidup
suami-isteri  dan  ibu-bapa,  saling  mencintai  cinta sebagai
pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia  tidak  mengenal  nafsu
muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta
yang dimulai  seolah  nyala  api  yang  melonjak-lonjak  untuk
kemudian  padam  kembali.  Dari  perkawinannya  itu ia beroleh
beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.  Kematian  kedua
anaknya,  al-Qasim  dan  Abdullah  at-Tahir  at-Tayyib1  telah
menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang  masih
hidup   semua   perempuan.   Bijaksana   sekali   ia  terhadap
anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun  sangat  setia
dan hormat kepadanya.

Paras  mukanya  manis  dan  indah,  Perawakannya sedang, tidak
terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang
besar,  berambut  hitam  sekali  antara  keriting  dan  lurus.
Dahinya lebar dan rata di atas  sepasang  alis  yang  lengkung
lebat  dan  bertaut,  sepasang  matanya  lebar  dan  hitam, di
tepi-tepi putih matanya agak ke  merah-merahan,  tampak  lebih
menarik  dan  kuat:  pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata
yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan  merata  dengan  barisan
gigi  yang  bercelah-celah.  Cambangnya lebar sekali, berleher
panjang dan  indah.  Dadanya  lebar  dengan  kedua  bahu  yang
bidang.  Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak
tangan dan kakinya yang tebal.

Bila  berjalan  badannya  agak  condong   kedepan,   melangkah
cepat-cepat  dan  pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan
penuh  pikiran,  pandangan  matanya  menunjukkan   kewibawaan,
membuat orang patuh kepadanya.

Dengan  sifatnya  yang  demikian itu tidak heran bila Khadijah
cinta dan patuh kepadanya, dan tidak  pula  mengherankan  bila
Muhammad  dibebaskan  mengurus  hartanya  dan dia sendiri yang
memegangnya  seperti  keadaannya  semula   dan   membiarkannya
menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.

Muhammad  yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
dengan Khadijah itu berada dalam  kedudukan  yang  tinggi  dan
harta  yang  cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan
rasa gembira dan hormat. Mereka  melihat  karunia  Tuhan  yang
diberikan  kepadanya  serta  harapan akan membawa turunan yang
baik  dengan  Khadijah.  Tetapi  semua  itu  tidak  mengurangi
pergaulannya  dengan  mereka.  Dalam  hidup  hari-hari  dengan
mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih
dihormati  lagi  di  tengah-tengah  mereka  itu. Sifatnya yang
sangat  rendah  hati  lebih  kentara  lagi.  Bila   ada   yang
mengajaknya  bicara  ia  mendengarkan  hati-hati  sekali tanpa
menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang
mengajaknya  bicara,  bahkan  ia rnemutarkan seluruh badannya.
Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia  mendengarkan.  Bila
bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun
tidak melupakan ikut membuat humor  dan  bersenda-gurau,  tapi
yang  dikatakannya  itu  selalu  yang  sebenarnya.  Kadang  ia
tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah
sampai  tampak  kemarahannya,  hanya  antara  kedua  keningnya
tampak sedikit berkeringat. Ini  disebabkan  ia  menahan  rasa
amarah  dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa
oleh kodratnya yang selalu lapang dada,  berkemauan  baik  dan
menghargai  orang  lain.  Bijaksana  ia,  murah hati dan mudah
bergaul. Tapi  juga  ia  mempunyai  tujuan  pasti,  berkemauan
keras,   tegas  dan  tak  pernah  ragu-ragu  dalam  tujuannya.
Sifat-sifat   demikian   ini   berpadu   dalam   dirinya   dan
meninggalkan  pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang
bergaul dengan dia.  Bagi  orang  yang  melihatnya  tiba-tiba,
sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul
dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.

Alangkah  besarnya  pengaruh   yang   terjalin   dalam   hidup
kasih-sayang  antara  dia  dengan Khadijah sebagai isteri yang
sungguh setia itu.

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus,  juga
partisipasinya  dalam  kehidupan  masyarakat  hari-hari.  Pada
waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir  besar
yang   turun   dari  gunung,  pernah  menimpa  dan  meretakkan
dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
pihak  Quraisy  memang  sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
beratap itu menjadi sasaran  pencuri  mengambil  barang-barang
berharga  di  dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau
bangunannya  diperkuat,  pintunya   ditinggikan   dan   diberi
beratap,  dewa  Ka'bah  yang  suci itu akan menurunkan bencana
kepada  mereka.  Sepanjang  zaman  Jahiliah   keadaan   mereka
diliputi   oleh   pelbagai   macam   legenda   yang  mengancam
barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu  perubahan.  Dengan
demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.

Tetapi  sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu
adalah suatu keharusan, walaupun masih serba  takut-takut  dan
ragu-ragu.  Suatu  peristiwa  kebetulan  telah  terjadi sebuah
kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang
dari  Mesir  terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini
seorang  ahli  bangunan   yang   mengetahui   juga   soal-soal
perdagangan.   Sesudah   Quraisy   mengetahui  hal  ini,  maka
berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari
Quraisy  ke  Jidah.  Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang
sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke  Mekah
guna   membantu   mereka   membangun   Ka'bah  kembali.  Baqum
menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan
tercapai bahwa diapun akan  bekerja  dengan  mendapat  bantuan
Baqum.

Sudut-sudut  Ka'bah  itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap
kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak  dan  dibangun
kembali.  Sebelum  bertindak  melakukan  perombakan itu mereka
masih  ragu-ragu,  kuatir  akan  mendapat  bencana.   Kemudian
al-Walid   bin'l-Mughira   tampil   ke  depan  dengan  sedikit
takut-takut. Setelah ia berdoa kepada  dewa-dewanya  mulai  ia
merombak   bagian   sudut   selatan.3   Tinggal   lagi   orang
menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan  nanti  terhadap
al-Walid.  Tetapi  setelah  ternyata  sampai  pagi tak terjadi
apa-apa, merekapun  ramai-ramai  merombaknya  dan  memindahkan
batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.

Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di
situ  dengan  pacul  tidak  berhasil,  dibiarkannya  batu  itu
sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu
sekarang  orang-orang  Quraisy  mulai  mengangkuti   batu-batu
granit  berwarna  biru,  dan  pembangunanpun  segera  dimulai.
Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan  tiba  saatnya
meletakkan  Hajar  Aswad yang disucikan di tempatnya semula di
sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan  Quraisy,
siapa  yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu
di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan  itu  sehingga
hampir   saja   timbul   perang  saudara  karenanya.  Keluarga
Abd'd-Dar  dan  keluarga  'Adi  bersepakat  takkan  membiarkan
kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar
ini. Untuk itu  mereka  mengangkat  sumpah  bersama.  Keluarga
Abd'd-Dar  membawa  sebuah  baki  berisi  darah. Tangan mereka
dimasukkan ke dalam baki itu guna  memperkuat  sumpah  mereka.
Karena  itu  lalu  diberi  nama  La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan
darah.'

Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang  yang
tertua  di  antara  mereka,  dihormati  dan  dipatuhi. Setelah
melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:

"Serahkanlah putusan kamu ini di  tangan  orang  yang  pertama
sekali memasuki pintu Shafa ini."

Tatkala  mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima
keputusannya."

Lalu   mereka  menceritakan  peristiwa  itu  kepadanya.  Iapun
mendengarkan  dan  sudah  melihat  di   mata   mereka   betapa
berkobarnya  api  permusuhan  itu.  Ia berpikir sebentar, lalu
katanya:  "Kemarikan  sehelai  kain,"  katanya.  Setelah  kain
dibawakan   dihamparkannya   dan   diambilnya  batu  itu  lalu
diletakkannya  dengan  tangannya  sendiri,  kemudian  katanya;
"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."

Mereka  bersama-sama  membawa kain tersebut ke tempat batu itu
akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
dan  meletakkannya  di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.

Quraisy  menyelesaikan   bangunan   Ka'bah   sampai   setinggi
delapanbelas  hasta  (±  11 meter), dan ditinggikan dari tanah
sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau  melarang
orang  masuk.  Di  dalam  itu mereka membuat enam batang tiang
dalam dua deretan dan di sudut barat  sebelah  dalam  dipasang
sebuah  tangga  naik  sampai  ke teras di atas lalu meletakkan
Hubal  di  dalam  Ka'bah.  Juga  di  tempat   itu   diletakkan
barang-barang  berharga  lainnya,  yang  sebelum  dibangun dan
diberi beratap menjadi sasaran pencurian.

Mengenai umur Muhammad waktu  membina  Ka'bah  dan  memberikan
keputusannya   tentang  batu  itu,  masih  terdapat  perbedaan
pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn
Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat
itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang
jelas  cepatnya  Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama
memasuki pintu Shafa,  disusul  dengan  tindakannya  mengambil
batu  dan  diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain
dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah,  menunjukkan  betapa
tingginya  kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.

Adanya   pertentangan   antar-kabilah,   adanya   persepakatan
La'aqat'd-Dam   ('Jilatan  Darah'),  dan  menyerahkan  putusan
kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan
bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.

Kekuasaan   yang   dulu   ada   pada   Qushayy,   Hasyim   dan
Abd'l-Muttalib   sekarang   sudah   tak   ada   lagi.   Adanya
pertentangan  kekuasaan  antara  keluarga  Hasyim dan keluarga
Umayya   sesudah   matinya   Abd'l-Muttalib    besar    sekali
pengaruhnya.

Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan
membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja  tidak  karena
adanya  rasa  kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah
Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
wajar  pula,  yakni  menambah  adanya kemerdekaan berpikir dan
kebebasan  menyatakan  pendapat,  dan  menimbulkan  keberanian
pihak  Yahudi  dan  kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani
mereka  lakukan  sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir
dengan  hilangnya  pemujaan  berhala-berhala  itu  dalam  hati
penduduk  Mekah  dan  orang-orang  Quraisy  sendiri,  meskipun
pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan
adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa  agama
yang  berlaku  itu  adalah  salah  satu alat yang akan menjaga
ketertiban  serta  menghindarkan  adanya  kekacauan  berpikir.
Dengan  adanya  penyembahan-penyembahan  berhala dalam Ka'bah,
ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat  keagamaan  dan
perdagangan.   Dan   memang  demikianlah  sebenarnya,  dibalik
kedudukan  ini  Mekah  dapat  juga  menikmati  kemakmuran  dan
hubungan  dagangnya.  Akan  tetapi  itu  tidak  akan  mengubah
hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.

Ada beberapa keterangan yang  menyebutkan,  bahwa  pada  suatu
hari  masyarakat  Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan
berhala  'Uzza;  empat  orang  di  antara   mereka   diam-diam
meninggalkan  upacara  itu.  Mereka  itu  ialah: Zaid b. 'Amr,
Usman bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah  b.  Jahsy  dan  Waraqa  b.
Naufal.

Mereka  satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu
ini tidak punya tujuan; mereka dalam  kesesatan.  Apa  artinya
kita  mengelilingi  batu  itu: memdengar tidak, melihat tidak,
merugikan tidak,  menguntungkanpun  juga  tidak.  Hanya  darah
korban  yang  mengalir  di  atas  batu  itu.  Saudara-saudara,
marilah kita mencari agama lain, bukan ini."

Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani.
Konon  katanya  dia  yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa
Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy  masih  tetap  kabur  pendiriannya.
Kemudian  masuk  Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia
pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya
-  Umm  Habiba  bint  Abi  Sufyan  - tetap dalam Islam, sampai
kemudian  ia   menjadi   salah   seorang   isteri   Nabi   dan
Umm'l-Mu'minin.

Zaid  b.  'Amr  malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab
pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi.
Tetapi  dia  tidak  mau menganut salah satu agama, baik Yahudi
atau Nasrani. Juga dia meninggalkan  agama  masyarakatnya  dan
menjauhi  berhala.  Dialah  yang  berkata, sambil bersandar ke
dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui,  dengan  cara
bagaimana  yang  lebih  Kausukai  aku  menyembahMu, tentu akan
kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya."

Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan  Khadijah,
pergi  ke  Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu.  Disebutkan  juga,
bahwa  ia  mengharapkan  Mekah  akan berada di bawah kekuasaan
Rumawi dan dia berambisi  ingin  menjadi  Gubernurnya.  Tetapi
penduduk  Mekah  mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu
Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan  ke  Mekah.
Tetapi  hadiah-hadiah  penduduk  Mekah sampai juga kepada Banu
Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.

Selama bertahun-tahun  Muhammad  tetap  bersama-sama  penduduk
Mekah  dalam  kehidupan  masyarakat  sehari-hari. Ia menemukan
dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang  subur
dan  penuh  kasih,  menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan
telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang
dijuluki  at-Tahir  dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti
Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan
Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa
mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
sesuatu  yang  patut  dicatat.  Tetapi yang pasti kematian itu
meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua  mereka.  Demikian
juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.

Pada  tiap  kematian  itu  dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah
pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa  berhalanya
itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak
melimpahkan rasa kasihan, sehingga  dia  mendapat  kemalangan,
ditimpa   kesedihan  berulang-ulang!?  Perasaan  sedih  karena
kematian  anak  demikian  sudah  tentu  dirasakan  juga   oleh
suaminya.  Rasa  sedih  ini selalu melecut hatinya, yang hidup
terbayang pada istennya, terlihat setiap ia  pulang  ke  rumah
duduk-duduk di sampingnya

Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa
sedih  demikian  itu,  pada  suatu  zaman   yang   membenarkan
anak-anak  perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan
laki-laki sama dengan menjaga suatu  keharusan  hidup,  bahkan
lebih  lagi  dan  itu.  Cukuplah  jadi  contoh betapa besarnya
kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan
tersebut,   sehingga   ketika   Zaid  b.  Haritha  didatangkan
dimintanya   kepada   Khadijah   supaya   dibelinya   kemudian
dimerdekakannya.   Waktu   itu   orang  menyebutnya  Zaid  bin
Muhammad.  Keadaan  ini  tetap  demikian  hingga  akhirnya  ia
menjadi  pengikut  dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal
pula.   Kesedihan  demikian  ini  timbul  juga  sesudah  Islam
mengharamkan  menguburkan  anak  perempuan  hidup-hidup,   dan
sesudah  menentukan  bahwa  sorga berada di bawah telapak kaki
ibu.

Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad  dengan  kematian
kedua   anaknya   berpengaruh   juga   dalam   kehidupan   dan
pemikirannya.  Sudah  tentu  pula  pikiran  dan   perhatiannya
tertuju  pada  kemalangan  yang  datang  satu  demi  satu  itu
menimpa,  yang  oleh  Khadijah  dilakukan  dengan   membawakan
sesajen  buat  berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan
buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4

Ia  ingn  menebus  bencana  kesedihan  yang  menimpanya.  Akan
tetapi,   semua  kurban-kurban  dan  penyembelihan  itu  tidak
berguna sama sekali.

Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad  memberikan
perhatian,  dengan  mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya
memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan  dengan
Abu'l-'Ash  bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara
dengan Khadijah -  seorang  pemuda  yang  dihargai  masyarakat
karena   kejujuran  dan  suksesnya  dalam  dunia  perdagangan.
Perkawinan  ini  serasi  juga,  sekalipun   kemudian   sesudah
datangnya  Islam  -  ketika  Zainab  akan  hijrah dan Mekah ke
Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat  lebih
terperinci  nanti.  Ruqayya  dan Umm Kulthum dikawinkan dengan
'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua  isteri
ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab
menyuruh kedua anaknya itu  menceraikan  isteri  mereka,  yang
kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5

Ketika  itu  Fatimah  masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
baru sesudah datangnya Islam.

TEKS UUD 1945

TEKS UUD 1945

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan inikemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

surah AN-NABA


بسم الله الرحمن الرحيم          

78:1
78:2

78:3
78:4
78:5

78:6
78:7
78:8
78:9
78:10
78:11
78:12
78:13
78:14
78:15
78:16
78:17
78:18
78:19
78:20
78:21
78:22
78:23
78:24
78:25
78:26
78:27
78:28
78:29
78:30
78:31
78:32
78:33
78:34
78:35
78:36
78:37
78:38
78:39
78:40

YANG DATANG DAN YANG PERGI

YANG DATANG DAN YANG PERGI


            Jam dinding menunjukkan tepat jam dua belas malam. Entah kenapa
tiba-tiba aku terbangun. Kutatap dalam-dalam wajah istriku yang masih lelap dalam tidurnya.Kubelai perlahan anak rambutnya yang tergerai di dahinya. Kamu cantik
Ratri...., bisikku perlahan.
            Tanpa terasa, usai pernikahan kami sudah menginjak tahun yang ke tiga
tapi kami belum juga dikaruniai anak. Ya Allah...karuniakan kepada kami anak,
seorangpun tak mengapa..., begitu jerit do'aku tiap malam di atas sajadah.
Tapi entahlah hikmah apa yang tersembunyi di balik semua ini. Aku yakin,
Allah menyimpan hikmah itu untuk kuketahui kelak. Ya,...itu pasti !!
            "Ratri..., bangun... sholat yuuk..." Kutepuk pipi istriku perlahan. Ia
menggeliat. Aku tersenyum saja. Mungkin ia masih lelah, seharian mengurus
rumah. Mengepel, memasak, mencuci, membersihkan rumah, masih ditambah lagi
kesibukannya menulis di media cetak. Ah... aku sayang padamu Ratri....
            Akhirnya, aku beranjak sendirian. Berwudhu an kemudian tenggelam dalam
sholat malamku yang panjang. Dan selalu do'a itu yang aku dahulukan.
Rabbahuma lain aataitana shoolihan lanakunanna minasy syaakiriin. Ya Allah,
jika Engkau memberi kami anak yang sholih, tentu kami termasuk orang2 yang
bersyukur.
            Jam dinding berdentang tiga kali. Ketika aku menghabiskan tiga rakaat
terakhir witirku, kulihat Ratri sudah ada dibelakangku dengan wajah merajuk.
Kutatap wajahnya dengan geli. "Kamu kenapa? Mulutnya monyong begitu...?"
godaku. Ratri semakin merajuk.
"Si Mas mesti begitu...., ngak bangunin Ratri....," protesnya. Aku tersenyum
arif.
"Lah wong, kamu pules banget tidurnya. Mana Mas tega bangunin..., tadi nulis
sampai jam sebelas 'kan? Mosok baru tidur satu jam, sudah disuruh bangun
lagi..."
"Iya deeh..., tapi nanti temani Ratri muraja'ah Qur'an yaa....," pintanya
manja.
"Inggih, sendiko dawuh....," jawabku dengan  logat jawa kaku. Maklum besar
di betawi. Ratri tertawa geli mendengar jawabanku. Serentak jemarinya yang
mungil beraksi menggelitik pinggangku.
"Ssssst...., sudah ah, sholat sana, nanti keburu subuh....," elakku. Ratri
masih tersenyum sambil mengerjapkan matanya, lucu.

            Sering kulihat Ratri termenung menatap ikan-ikan kecil di aquarium
kami. Matanya nanar menatap kosong ikan-ikan berwarna perak itu. Ia betah diam
tanpa ekspresi seperti itu.
"Ssst...., Muslimah kok hobi bengong, siih..?" bisikku persis  di telinganya.
Ratri tersentak kaget. Pipinya bersemu merah, malu ketahuan melamun.
"Enngg.... nggak kok, ini lho Mas..., ikannya bertelur....," katanya perlahan
"Ck.... pura-pura, dari tadi Mas lihat matamu tak berkedip, lama banget. Itu
bengong namanya, Non....," ku acak kepalanya gemas.
"Ikan saja bisa punya keturunan ya Mas...., kita kapan?" tanyanya lirih,
hampir tak terdengar. Seketika mataku memanas. Leherku tiba-tiba tercekat.
Oh, Allah...
"Yaa..., sabar dong Non...., insya Allah ada hikmahnya....," tuturku,
mencoba tegar.
Ratri tersenyum manis, lalu menggamit lenganku menuju meja makan. Tak lama
kemudian ia kembali berceloteh menceritakan aktivitasnya seharian. Ah
Ratri... Ratri...

            Ketika pernikahan kami menginjak tahun kedua, kami sudah memerikasakan
diri seccara intensif pada dokter kandungan. Hasilnya kami berdua normal !
Dokter cuma menyuruh kami untuk bersabar, berdo'a, dan berusaha tentunya. Yah..
barangkali kami berdua memang sedang diuji.
"Nikah lagi saja, Maaas....," celetuk Ratri suatu kali.
aku tersentak. Keturunan memang sangat kuharapkan. Tapi membagi cintaku pada
Ratri dengan wanita lain, meski itu dibolehkan dalam islam, apa aku sanggup ??
Kucubit pipi istriku perlahan. "Nggak takut cemburu?" tanyaku menggodanya.
"Cemburu kan manusiawi Mas..., Aisyah juga cemburu sama Khadijah, tapi bukan
cemburu masalahnya Mas..., kalau Mas punya istri lagi, kan Ratri bisa ikut
membesarkan anak dari istri Mas...," tuturnya panjang lebar.
"Kalau dia juga tidak bisa hamil ?"
"Ambil istri lagi...."
"Kalau belum punya anak juga ?"
"Ambil lagi..."
"Hussss...sembarangan !!" protesku pura-pura galak. Kudekap kepala mungilnya
erat erat.

            Hari ini ulang tahun perkawinan kami yang keempat. Umurku sudah
duapuluh delapan tahun. Uban dikepalaku sudah belasan jumlahnya. Ketika menikah
dulu Ratri bilang, Ubanku ada enam lembar!! Dan sampai saat ini kami belum di
percaya Allah untuk menimang seorang anak. Tapi aku masih cinta Ratri. Dan,
tidak akan pernah pudar.
             Wajah Ratri yang oval dengan hidung yang bangir dan mulutnya kelihatan
merah berseri-seri. Kulihat ia membawa sebuah nampan besar yang tertutup ke
arah meja makan. Lalu ia menarik lenganku manja.
"Sini Mas....," ajaknya. Aku menurut saja.
"Happy fourth anniversary...," katanya, lembut. Mataku berkaca-kaca.
perlahan kubuka nampan itu. Sebuah kue taart, romantis sekali. Dan sebuah
amplop, dengan logo sebuah klinik. Keningku berkerut. Ketika tanganku
bergerak hendak mengambil amplop tersebut, seketika Ratri merebutnya.
"Makan dulu dooong....," protesnya. Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala,
sambil tersenyum. Tak urung kuraih pisau lalu,
"Bismillahirrohmanirrohiim...," kupotong taart itu. Ratri tersenyum, ia
kelihatan bahagia sekali. Kutengadahkan tanganku meminta amplop itu. Ratri
menggeleng. Makan dulu...., katanya. Ku garuk-garuk kepalaku dengan gemas.
Ni, anak bikin penasaran juga.
            Setelah selesai menyantap potongan kue yang kumakan dengan dua kali
telan.
Dan Ratri protes karenanya. Kurenggut amplop di tangannya. Dan
Subhanallah..., Maha suci Engkau wahai Rabb seru sekalian alam !!! Ratri
hamil !!! Masya Allah...., setelah sekian tahun !!! ...Seketika aku
tersungkur sujud. Air mataku meleleh. Kudekap kepala Ratri erat-erat. Air
mataku masih mngalir, menitik membasahi kepala Ratri. Ia mendongak,
jemarinya menghapus air mataku.
"Mas menangis ?" tanyanya retoris. Aku mengangguk. Ya, aku menangis ! Tangis
syukur ....
"Kok periksa ke dokter nggak bilang-bilang ?" protesku.
"Biarin, nanti ngak surprise....," katanya. Tiba-tiba aku merasa bersalah.
SAejak tahun ketiga pernikahan kami, aku tidak lagi rajin mengikuti
tanggal-tanggal haid dan masa subur Ratri seperti dulu. Kudekap Ratri makin
erat.
        Sejak hari itu , kesehatan Ratri menjadi perhatian utamaku. Aku sering
marah-marah kalau Ratri masih juga suka menulis sampai larut malam. Ya,
tiba-tiba aku menjadi sangat cerewet.


******BERSAMBUNG********

Judul: YANG DATANG DAN YANG PERGI(2)
Dari:  Chy
Tanggal:  Tue Jan 30


        ****
        Sembilan bulan, lebih delapan hari. Rasanya hari itu tiba ...., tadi
pagi Ratri sudah mulas-mulas. Katanya mulasnya dimulai dari punggung
menjalar sampai ke depan. Aku ribut setengah mati. Kuraih gagang telpon. Aku
menelpon seorang teman untuk membawa mobil ke rumah. Ratri masih mengeluh
mulas-mulas. Tiba-tiba keluar cairan, oh .... air ketubannya sudah pecah !!

        ****

        Di rumah sakit aku begitu gelisah. Bapak ibu yang menungguiku cuma
mengeleng-gelengkan kepala. Maklum anak pertama, begitu kata ibu. Ya Allah
.... entah kenapa aku tiba-tiba merasa ketakutan yang luar biasa. Ya Allah,
selamatkanlah  istri dan anakku...., bisikku berulang kali.

        "Bapak Saiful Bahri ?" seorang dokter keluar dari ruang bersalin.
        "Ya ....., saya dokter ...," sahutku cepat. Kuhampiri dokter itu.
        "Ada sedikit kelainan, harus dioperasi ...... Suster ! , tolong
bimbing Pak Saiful untuk mengisi formulir ini....," kata dokter itu. Aku
tersentak kaget !  Operasi ?!? Astaghfirullah .....
        "Tapi ...., istri saya tidak apa-apa 'kan dokter??" tanyaku
khawatir. Dokter itu terdiam.
        "Berdo'alah ...," katanya pelan. Kugigit bibirku erat-erat. Allah
..., selamatkan istri dan anakku......
        Kuambil wudhu dan sholat di musholla. Kuhabiskan gelisahku di sana.
Tiba-tiba terdengar tangis bayi.
        "Anakku ....," desisku perlahan. Aku seperti dituntun nuraniku.
Bergegas keluar musholla.
        "Bapak Saiful Bahri ?"
        "Ya, dokter ..."
        "Selamat, bayinya perempuan, sehat, tiga setengah kilo, cantik
seperti ibunya.....," kata dokter itu.
        "Alhamdulillah ...," desisku berulang-ulang.
        "Istri saya dokter ?"
        Dokter itu terdiam. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak menjalar di
segenap hatiku. Kutatap mata dokter itu dengan tatapan penuh tanya.
Tiba-tiba dokter itu menepuk bahuku perlahan, sementara kepalanya pun
menggeleng perlahan pula. Mulutku ternganga seketika .....
        "Maafkan...., saya sudah berusaha. Tapi Tuhan menghendaki
lain......," katanya.
        Air mataku berloncatan tanpa bisa dibendung.........

        Dokter itu perlahan  membimbingku masuk ke ruang bersalin. Aku
menurut saja tanpa rasa.
        Sesosok tubuh ditutup kain putih terbaring....... Perlahan dokter
itu membuka kain penutupnya. INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI'UUN ........
Wajah Ratri terlihat pucat. Tapi bibirnya tersenyum manis ..., maniiis
sekali. Kudekap kepala Ratri erat-erat ...., tangisku tak tertahankan.....
        "Sabar .... sabar ...Pak ...," hibur dokter itu.
        "Suster, bawa kemari , anak Bapak Saiful ...," katanya lagi.
        Seorang bayi mungil yang masih merah disodorkan ke hadapanku.
Perlahan ... ku gendong dan kutatap ia ... . Dadaku masih sesak karena tangis.
        Kutatap bayi merah itu dan Ratri berganti-ganti. Mereka begitu
mirip. Matanya..., hidungnya..., mulutnya..., Allahu Akbar !!!
        Rupanya inilah hikmah itu, Ratri...., Allah memberi kesempatan
padaku untuk menemanimu selama empat tahun, untuk akhirnya memanggilmu
setelah ia memberikan gantinya....
        Ya, Allah jangan biarkan hatiku berandai-andai..... seandainya saja
kami tidak mengharapkan anak, jika itu membawa kematian Ratri .... Tidak,
ini semua takdir Mu ya Robbi ....
        SELAMAT JALAN RATRI ............................

***************Tammat*****************





PENDIDIKAN ISLAM HARUS BERAGAM


PENDIDIKAN ISLAM HARUS BERAGAM
Oleh: Abdurrahman Wahid

Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama, hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar haruslah mengajarkan “ajaran formal” tentang Islam. Termasuk dalam barisan ini adalah dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari Universitas Al-Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan “pendidikan Islam yang benar“ memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis sendiri membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari pendidikan Islam.

Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” yang menggunakan simbol-simbol budaya jawa; sebagai “agen pembaharuan” yang memeperkenalkan gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.

Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah “keharusan” yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat “benih-benih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, penulis pernah mengajukan sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu adanya “study kawasan” tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s).

*******

Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada dua hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah, pembaharuan endidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam, dalam bahasa Arab taj’did al-tarbiyah al-Islamiah dan al-hadasah, dalam liputan istilah pertama, tentu saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus di didik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam, contoh paling mudahnya adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke-tahun yang melakukan ibadah umroh/ Haji kecil.

Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Dengan kata lain, pendidikan Islam tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat Islam terhadap “tantangan modernisasi”, seperti pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.

Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.

******

Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam.

Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan penjabaran tarekat dan gerakan shalawat nabi, yang terjadi demikian cepat dimana-mana. Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti itu sebenarnya berbicara sangat nyaring, namun kita sendiri yang tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam yang memperoleh kedamaian dengan ritual memuja nabi itu, dengan sendirinya berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup nabi yang diketahuinya, yaitu kepatuhan kepada ajaran Islam. Ritual itu tentu saja akan menyadarkan kembali orang tersebut ,kepada kehidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (Juz’i) belaka. Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan sosial” yang tidak dapat kita pungkiri dan diabaikan.

Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum-hukumnya sendiri. Perkembangan keadaan, yang tidak memperhitungkan hal ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka, dari tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap untuk mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan pasir tanpa menyadari badanya masih tampak. Jika kita masih bersikap seperti itu, akibatnya akan menjadi sangat besar bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan keaneka-ragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan perkembangan yang akan menentukan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, namun gampang dirumuskan. Nyatanya memang benar demikian, bukan?