Oleh: KH Abdurrahman Wahid
Dalam tahun 1975, tujuh orang ahli hukum agama/fiqh diundang
oleh Departemen Agama (Depag) untuk membahas gagasan masalah Keluarga Berencana
(KB). Di antara tujuh orang itu terdapat KH M Bisri Syansuri, Rais ‘Am Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tinggal di Jombang. Beliau terkenal sebagai
pembela hukum agama/fiqh, di samping melakukan penerapan literal atas
sumber-sumber tekstual (al-adillah al-naqliyyah) dalam kehidupan. Pertemuan ke
tujuh orang itu berakhir dengan pernyataan bahwa mereka akan menerima gagasan
KB tersebut. Tentu saja, dapat dilontarkan tuduhan bahwa mereka pasti mengalah
terhadap tekanan politik dari pemerintah waktu itu, namun integritas pribadi
ke-tujuh orang itu tidak memungkinkan adanya hal tersebut.
Penulis teringat kepada kisah sang adik, dr. Umar Wahid, yang
pernah mengantarkan beliau ke suatu pesta perkawinan anak tokoh seorang
Kejawen, Sudjono Humardani. Setelah keduanya mengucapkan selamat kepada kedua mempelai,
KH.M Bisri Syansuri lalu duduk di sebuah kursi dan dr. Umar Wahid menuju ke
meja makan untuk menikmati hidangan sambil makan dengan berdiri. Belum sempat
ia mencicipi makanan, bahunya disentuh beliau, sambil menyatakan; “Rasulullah
tidak pernah makan sambil berdiri, karena itu, mari kita pulang”.
Mengapakah terjadi penerimaan dari mereka seperti itu? Karena
memang, Menteri Agama Dr. A Mukti Ali tidak menyodorkan gagasan pembatasan
kelahiran, yang akan membatasi hak reproduksi manusia yang dipegang oleh Allah
Swt. Sebaliknya, ia mengemukakan gagasan KB yang sama sekali tidak mengurangi
hak-hak reproduksi semua makhluk di tangan Allah swt. Dengan kata lain, manusia
merencanakan jumlah keluarga tetapi tidak menghentikan secara permanen hak
Allah Swt atas proses itu. Karena itu, mereka dapat menerima gagasan KB, tapi
menolak gagasan pembatasan anak.
Hal ini akan menjadi lebih jelas, jika dilihat dalam kasus
operasi medis Cincin-Yung. Dalam hal ini dilakukan operasi kecil dengan
mengeluarkan tuba (tube) di luar rahim/kandungan seorang perempuan, yang
menjadi tempat lalu/lewat sperma lelaki untuk bertemu dengan indung telur sang
Ibu, dalam rahimnya. Tuba itu dilipat dan diberi Cincin-Yung, agar sperma tidak
lagi dapat lewat, guna mencegah proses pembuahan indung telur. Jika diinginkan,
Cincin-Yung ini dapat saja dilepas dan sperma dapat lewat lagi melalui tuba
tersebut, hingga terjadi pembuahan lagi. Ini berarti, hak reproduksi manusia
secara permanen tetap berada di tangan Allah saw. Dan ini berarti pula, manusia
dapat mengkotak-katik, namun Allah swt jua-lah yang berwenang melakukan
reproduksi pada si makhluk yang bernama manusia itu.
Dengan demikian, menjadi nyata bahwa pokok persoalannya
terletak pada siapa yang memiliki hak reproduksi; Allah swt-kah atau manusia
sendiri? Dalam hal ini, manusia mungkin saja mengatur dan merencanakan jumlah
anggota keluarga yang dikehendaki, namun pada akhirnya nanti Allah swt-lah yang
tetap menentukan. Umpama saja, manusia merencanakan dua kali kelahiran, karena
yang diinginkan hanya dua anak saja. Ini adalah suatu perencanaan, namun
–sekali lagi, Allah swt dapat menentukan lain. Bahwa, dengan kedua kelahiran
itu, ternyata menjadi jalan bagi kelahiran anak kembar, hingga orang tua
tersebut tidak hanya memiliki dua anak saja, melainkan empat orang anak.
Di sini, terdapat perbedaan prinsipil antara sebuah
perencanaan dan pembatasan jumlah anak. Dalam hal pembatasan, sekali diambil
tindakan, maka hak reproduksi yang ada di tangan Allah Swt dihilangkan dan
tidak dimungkinkan pemulihannya kembali. Sedangkan dalam perencanaan jumlah
anak, hak itu secara teoritis tetap berada di tangan Allah Swt. Karena, manusia
hanya dapat menghentikannya untuk sementara saja –ketika alat-alat seperti
kondom, obat-obatan maupun Cincin-Yung dilepaskan. Artinya, penggunaannya tidak
mematikan kemungkinan pembuahan lagi jika alat-alat tersebut tidak dipakai.
Dalam hal ini terbukti: gagasan perencanaan keluarga berjalan
bersama dengan perkembangan masyarakat. Kebutuhan pendidikan yang semakin rumit
dan berbiaya besar, membuat orang tidak lagi menginginkan jumlah anggota
keluarga yang besar. Hadits-hadits Nabi saw yang berbunyi: “berkawinlah kalian
dan berbanyak-banyak anak agar dapat Ku-banggakan kalian di hadapan
bangsa-bangsa lain di hari kiamat kelak” (tanakahu taktsuru fa inni mubaahin
biku al-yauma al-qiyamah) dipertanyakan, bahwa yang dimaksudkan itu jumlah
fisis (bilangan) ataukah jumlah kwalitatif atas hadits-hadits di atas.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan jumlah kwalitatif di sini adalah jumlah orang
yang berpendidkan tinggi atau menguasai tehnologi dengan mendalam. Kalau
jawabnya jumlah kwalitatif, dengan sendirinya yang dipentingkan adalah
pendidikan, yang menghendaki justru jumlah anggota keluarga yang tidak terlalu
besar.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa, ada pertalian erat
antara keadaan terdidik dan perencanaan keluarga, seperti halnya pertalian
faktor-faktor modern dengan besarnya jumlah anggota keluarga. Dengan demikian,
hubungan timbal balik antara keterdidikan dan jumlah anggota keluarga menjadi
sesuatu yang simbiotik. Dalam arti, semakin tinggi keadaan keterdidikan sang
anak, semakin sedikit jumlah anggota keluarganya –dan demikianlah pendapat umum
yang tidak pernah diungkapkan oleh pers.
Dengan begitu menjadi jelaslah, bahwa perencanaan keluarga
haruslah memiliki wawasan nasional dan tidak hanya mengangkat dirinya saja. Ini
berarti, bagaimanapun juga pertimbangan-pertimbangan non-hukum agama/fiqh juga
turut membentuk pandangan keluarga muslim tentang keluarga berencana tersebut.
Sesungguhnya, kedua faktor hukum agama /fiqh dan non-fiqh harus dijaga
keseimbangannya antara kedua belah pihak. Karena itu, kajian mendalam atas
jalan pikiran dan perasaan kontemporer dari kaum muslimin, juga harus
diperhitungkan. Cukup rasional, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar