Senin, 23 Januari 2012

ISLAM DAN GAGASAN KELUARGA BERENCANA



Oleh: KH Abdurrahman Wahid

Dalam tahun 1975, tujuh orang ahli hukum agama/fiqh diundang oleh Departemen Agama (Depag) untuk membahas gagasan masalah Keluarga Berencana (KB). Di antara tujuh orang itu terdapat KH M Bisri Syansuri, Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tinggal di Jombang. Beliau terkenal sebagai pembela hukum agama/fiqh, di samping melakukan penerapan literal atas sumber-sumber tekstual (al-adillah al-naqliyyah) dalam kehidupan. Pertemuan ke tujuh orang itu berakhir dengan pernyataan bahwa mereka akan menerima gagasan KB tersebut. Tentu saja, dapat dilontarkan tuduhan bahwa mereka pasti mengalah terhadap tekanan politik dari pemerintah waktu itu, namun integritas pribadi ke-tujuh orang itu tidak memungkinkan adanya hal tersebut.

Penulis teringat kepada kisah sang adik, dr. Umar Wahid, yang pernah mengantarkan beliau ke suatu pesta perkawinan anak tokoh seorang Kejawen, Sudjono Humardani. Setelah keduanya mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, KH.M Bisri Syansuri lalu duduk di sebuah kursi dan dr. Umar Wahid menuju ke meja makan untuk menikmati hidangan sambil makan dengan berdiri. Belum sempat ia mencicipi makanan, bahunya disentuh beliau, sambil menyatakan; “Rasulullah tidak pernah makan sambil berdiri, karena itu, mari kita pulang”.

Mengapakah terjadi penerimaan dari mereka seperti itu? Karena memang, Menteri Agama Dr. A Mukti Ali tidak menyodorkan gagasan pembatasan kelahiran, yang akan membatasi hak reproduksi manusia yang dipegang oleh Allah Swt. Sebaliknya, ia mengemukakan gagasan KB yang sama sekali tidak mengurangi hak-hak reproduksi semua makhluk di tangan Allah swt. Dengan kata lain, manusia merencanakan jumlah keluarga tetapi tidak menghentikan secara permanen hak Allah Swt atas proses itu. Karena itu, mereka dapat menerima gagasan KB, tapi menolak gagasan pembatasan anak.

Hal ini akan menjadi lebih jelas, jika dilihat dalam kasus operasi medis Cincin-Yung. Dalam hal ini dilakukan operasi kecil dengan mengeluarkan tuba (tube) di luar rahim/kandungan seorang perempuan, yang menjadi tempat lalu/lewat sperma lelaki untuk bertemu dengan indung telur sang Ibu, dalam rahimnya. Tuba itu dilipat dan diberi Cincin-Yung, agar sperma tidak lagi dapat lewat, guna mencegah proses pembuahan indung telur. Jika diinginkan, Cincin-Yung ini dapat saja dilepas dan sperma dapat lewat lagi melalui tuba tersebut, hingga terjadi pembuahan lagi. Ini berarti, hak reproduksi manusia secara permanen tetap berada di tangan Allah saw. Dan ini berarti pula, manusia dapat mengkotak-katik, namun Allah swt jua-lah yang berwenang melakukan reproduksi pada si makhluk yang bernama manusia itu.

Dengan demikian, menjadi nyata bahwa pokok persoalannya terletak pada siapa yang memiliki hak reproduksi; Allah swt-kah atau manusia sendiri? Dalam hal ini, manusia mungkin saja mengatur dan merencanakan jumlah anggota keluarga yang dikehendaki, namun pada akhirnya nanti Allah swt-lah yang tetap menentukan. Umpama saja, manusia merencanakan dua kali kelahiran, karena yang diinginkan hanya dua anak saja. Ini adalah suatu perencanaan, namun –sekali lagi, Allah swt dapat menentukan lain. Bahwa, dengan kedua kelahiran itu, ternyata menjadi jalan bagi kelahiran anak kembar, hingga orang tua tersebut tidak hanya memiliki dua anak saja, melainkan empat orang anak.

Di sini, terdapat perbedaan prinsipil antara sebuah perencanaan dan pembatasan jumlah anak. Dalam hal pembatasan, sekali diambil tindakan, maka hak reproduksi yang ada di tangan Allah Swt dihilangkan dan tidak dimungkinkan pemulihannya kembali. Sedangkan dalam perencanaan jumlah anak, hak itu secara teoritis tetap berada di tangan Allah Swt. Karena, manusia hanya dapat menghentikannya untuk sementara saja –ketika alat-alat seperti kondom, obat-obatan maupun Cincin-Yung dilepaskan. Artinya, penggunaannya tidak mematikan kemungkinan pembuahan lagi jika alat-alat tersebut tidak dipakai.

Dalam hal ini terbukti: gagasan perencanaan keluarga berjalan bersama dengan perkembangan masyarakat. Kebutuhan pendidikan yang semakin rumit dan berbiaya besar, membuat orang tidak lagi menginginkan jumlah anggota keluarga yang besar. Hadits-hadits Nabi saw yang berbunyi: “berkawinlah kalian dan berbanyak-banyak anak agar dapat Ku-banggakan kalian di hadapan bangsa-bangsa lain di hari kiamat kelak” (tanakahu taktsuru fa inni mubaahin biku al-yauma al-qiyamah) dipertanyakan, bahwa yang dimaksudkan itu jumlah fisis (bilangan) ataukah jumlah kwalitatif atas hadits-hadits di atas. Sedangkan yang dimaksudkan dengan jumlah kwalitatif di sini adalah jumlah orang yang berpendidkan tinggi atau menguasai tehnologi dengan mendalam. Kalau jawabnya jumlah kwalitatif, dengan sendirinya yang dipentingkan adalah pendidikan, yang menghendaki justru jumlah anggota keluarga yang tidak terlalu besar.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa, ada pertalian erat antara keadaan terdidik dan perencanaan keluarga, seperti halnya pertalian faktor-faktor modern dengan besarnya jumlah anggota keluarga. Dengan demikian, hubungan timbal balik antara keterdidikan dan jumlah anggota keluarga menjadi sesuatu yang simbiotik. Dalam arti, semakin tinggi keadaan keterdidikan sang anak, semakin sedikit jumlah anggota keluarganya –dan demikianlah pendapat umum yang tidak pernah diungkapkan oleh pers.

Dengan begitu menjadi jelaslah, bahwa perencanaan keluarga haruslah memiliki wawasan nasional dan tidak hanya mengangkat dirinya saja. Ini berarti, bagaimanapun juga pertimbangan-pertimbangan non-hukum agama/fiqh juga turut membentuk pandangan keluarga muslim tentang keluarga berencana tersebut. Sesungguhnya, kedua faktor hukum agama /fiqh dan non-fiqh harus dijaga keseimbangannya antara kedua belah pihak. Karena itu, kajian mendalam atas jalan pikiran dan perasaan kontemporer dari kaum muslimin, juga harus diperhitungkan. Cukup rasional, bukan?


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar