ISLAM DAN
HUBUNGAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
Oleh: Abdurrahman Wahid
Hubungan antar umat beragama di indonesia tampaknya kembali
mengalami cobaan dan ujian berat dua tahun terakhir ini. Kalau diikuti dengan
cermat tampak bahwa hal ini masih akan berlangsung cukup lama. Memulihkan
hubungan yang semula tampak harmonis dan kemudian mengalami keretakan, bukanlah
hal yang mudah. Namun, masa depan kita sebagai bangsa banyak bergantung pada
kemampuan pemulihan hubungan itu. Kegagalan dalam hal ini dapat mengakibatkan
ujung traumatik yang mengerikan: terpecah-belahnya kita sebagai bangsa.
Karenanya, mau tidak mau kita harus mengerahkan kemampuan
sekuat tenaga untuk mewujudkan pemulihan hubungan antarumat beragama itu. Untuk
keperluan itu, kita terlebih dahulu harus memahami sebab-sebab paling dasar
dari retaknya hubungan dan sisi-sisi multidimensional dari kemelut yang
dihadapi. Tanpa mengetahui penyakitnya, tentu tak akan ditemukan obatnya, dan
penyembuhan tidak akan mungkin dilakukan.
Pada hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang
tumbuh, seperti bangsa kita, tentu sulit untuk mengembangkan saling pengertia
yang mendalam antara beraneka ragam unsur-unsur etnis, budaya daerah, bahasa
ibu, dan kebudayaannya. Kalaupun tidak terjadi salah pengertian mendasar antara
unsur-unsur itu, paling tidak tentu saling pengertian yang tercapai barulah
bersifat nominal belaka. Dengan kata lain, suasana optimal yang dapat dicapai
bukanlah saling pengertian, melainkan sekedar sangat kurangnya kesalahpahaman.
Pola hubungan “harmonis” seperti itu, dengan sendirinya tidak
memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari
perkembangan politik, ekonomi, dan budaya. Kerukunan yang ada hanyalah kondisi
yang rapuh, yang mungkin dapat diistlahkan dengan ungkapan dari masa Perang
Dingin antara negara-negara adikuasa dahulu: hidup berdampingan secara damai
(peaceful co-existence).
Sudah tentu kedamaian yang terselenggara hanyalah sekedar
sikap bertetangga baik, tanpa rasa senasib dan sepenanggungan di antara orang
yang merasa sesama bersaudara.
Hubungan baik yang disifati hanya oleh tata krama dan rasa
saling menghormati secara lahiriah belaka. Persambungan rasa tentu akan sangat
sedikit terjadi dalam keadaan demikian.
Perbedaan sikap dan pandangan, apalagi perbenturan
kepentingan, dapat membuat ketenangan suasana sewaktu-waktu berubah menjadi
kebalauan. Mereka yang tadinya saling menghormati, tiba-tiba dapat bersikap
saling menyalahkan. Mereka yang tadinya santun satu sama lain,
sekonyong-konyong dapat bersikap saling menyalahkan.. Suasana kejiwaan yang
dipenuhi rasa terkejut karena semula keadaan baik-baik saja, menambah intens
rasa “kehilangan” ketenangan semula. Hal itu lalu memperbesar rasa tambah
parahnya keadaan lebih dari kenyataan yang sebenarnya berlangsung.
Dari yang diuraikan itu, menjadi nyata bagi kita, bahwa
masalah pokok dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah pengembangan rasa
saling pengertian yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi
bangsa yang kukuh, kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti
satu sama lain, bukan hanya sekedar saling menghormati, yang diperlukan adalah
rasa saling memiliki (sense of belonging), bukannya hanya saling bertenggang
rasa satu terhadap yang lain.
Karena Islam adalah agama golongan penduduk mayoritas bangsa
kita, menjadi sangat menyedihkan bahwa sampai hari ini masih sangat luas sikap
negatif mereka kepada pihak-pihak lain. Materi khotbah dan ceramah para
pemimpin Islam, dari kalangan ulama hingga kalangan cendekiawan, masih berubah
sewaktu-waktu menjadi sangat memprihatinkan.
Memang mayoritas bangsa kita, yang notabene beragama Islam,
masih dicengkam oleh kemiskinan dan kebodohan sehingga mudah “dirayu” untuk
berpindah agama secara murahan. Kondisi logis dari kenyataan itu sebenarnya
adalah keharusan bagi gerakan Islam untuk memajukan umat mereka. Ini berarti
keharusan untuk melakukan transformasi multidimensional atas kehidupan umat
yang mereka pimpin, bukannya mencari kambing hitam atas keterbelakangan dan
ketertinggalan sendiri.
Ini tidak berarti, para pimpinan Islam di segenap tingkatan
harus menutup mata terhadap semua ekses yang terjadi dalam kehidupan beragama
dinegeri kita. Harus diambil langkah-langkah untuk menangani dan mencegah
terulangnya ekses-ekses itu, termasuk cara penyebaran agama terlalu agresif,
yang dilakukan oleh sementara kelompok penganut agama dari golongan minoritas.
Namun, cara penanganan dan penagkalan haruslah dilakukan dengan bijaksana,
tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua warga umat dari agama
tersebut.
Tentu kaum muslimin di negeri kita tidak mau dipersalahkan
atas kegiatan negatif yang dilakukan oleh minoritas muslimin di negeri-negeri
lain. Kita hanya mampu mendudukan masalah ini secara proporsional.
Kenyataan sederhana ini dan kerifan seperti dituntut di atas,
memang tidak mudah untuk diwujudkan, apalagi untuk dikembangkan dalam lingkup
yang luas. Namun, kita tidak punya pilihan lain, kalau masih diinginkan bangsa
kita yang demikian heterogen dapat mengembangkan diri menjadi bangsa yang kukuh
sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad ke-21.
Semua pihak dikalangan kaum muslimin memikul tanggung jawab
untuk menumbuhkan rasa memiliki terhadap semua warga masyarakat bangsa kita,
karena hanya dengan cara demikian Islam dapat tumbuh menjadi kekuatan pelindung
bagi seluruh penduduk negeri ini secara keseluruhan.
disarikan dari:
Abdurrahman Wahid, “Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman”,
Jakarta, Oktober 1999 Penerbit Harian Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar