ISLAM DAN
KEPEMIMPINAN WANITA
oleh : Abdurrahman Wahid
Sejumlah pemimpin partai-partai politik Islam, beberapa tahun
yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita tidak tepat dalam pandangan
agama. Dasar anggapan itu adalah ungkapan Al-qur'an "lelaki lebih tegak
atas wanita" (al-rijalu qawwamuna 'ala an-nisa), yang dapat diartikan
menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung jawab fisik atas keselamatan
wanita; dan kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Ternyata para
pemimpin partai politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari
ucapan mereka di muka umum. Anggapan tersebut, yang pada umumnya menjadi
pendapat dunia Islam selama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.
Beberapa sumber tekstual ('adillah naqliyah) melanjutkan
anggapan ini dengan ungkapan "wanita hanya mempunyai separuh akal
lelaki", dan sumber-sumber sejenis. Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci
Al-qur'an dipakai dalam hal ini, yaitu "bagian pria (dalam masalah
warisan) adalah dua kali bagian wanita" (hatzu ar-rajuli mithlu hatzi
al-unthaya'in), padahal kutipan itu hanya mengenai masalah waris-mewaris saja.
Karena itu, pandangan kedua ini, yang masih umum dipakai orang dalam dunia
Islam, selalu menilai rendah wanita.
Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar hak
lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena memang Islam menilai
seperti itu. Firman Allah SWT dalam Al-qur'an. "Sesungguhnya Ku-ciptakan
kalian sebagai laki-laki dan perempuan'' (inna khalaqnaakum min dzakarin wa
untha), mengisyaratkan persamaan seperti itu. Perbedaan pria dan wanita
bersifat biologis, tidaklah bersifat institusional/kelembagaan sebagaimana
disangkakan banyak orang dalam literatur Islam. Akibatnya, masyarakatpun
menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri.
Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penu- lis pernah
didatangi salah seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto masih menjadi
orang pertama dalam pemerintahan negeri tersebut. Ia meminta agar penulis
membacakan surat al-fatehah bagi bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari
malapetaka. Bukankah, katanya, Rasulullah SAW bersabda, "celakalah sebuah
kaum yang dipimpin wanita?'' Bukankah dengan menjadi Perdana Menteri Pakistan
Benazir Bhutto justru melakukan hal itu?'' Penulis menjawab, bahwa dalam hal
ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi? Bukankah
Nabi Muhammad SAW menunjuk kepada kepemimpinan abad VII hingga VIII Masehi di
Jazirah Arabia? Kepemimpinan suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan
(individualize leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara justru
dilembagakan?
Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui sidang
kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan, kabinet tidak boleh
menyimpang dari kebijakan parlemen, yang mayoritas anggotanya adalah pria.
Hingga, parlemen pun tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang Dasar, dengan
penjagaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya beranggotakan kaum
pria. Anda benar, kata tamu tersebut, namun saya minta Anda tetap saja membaca
surat al-fatehah untuk keselamatan bangsa Pakistan.
Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal:
sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabad-abad lamanya diikuti
orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama Islam di mata orang-orang itu,
dalam kenyataan berlawanan dengan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolah-olah
terjadi perbenturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan, ribuan
anak-anak perempuan ulama Muslimin justru menjadi sarjana S2 hingga S3, karena
UUD memungkinkan hal itu. Bukankah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin
oleh UUD kita, termasuk dalam pendidikan?
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatra
Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang warga masyarakat dari jenis
wanita untuk keluar rumah tanpa mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak
boleh dikawininya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar
UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di muka Undang-Undang?
Karenanya, sidang kabinet yang dihadiri oleh penulis telah memutuskan tidak
diperkenankan adanya peraturan daerah tersebut atau produk-produk lain hasil
DPRD I atau DPRD II, yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar. Maka, dalam
hal ini, mestinya Mahkamah Agung-lah yang memiliki wewenang untuk menyatakan
apakah sebuah produk DPRD tersebut melanggar UUD atau tidak. Jika demikian,
otomatis produk itu tidak berlaku lagi.
Dari uraian di atas jelaslah, memperjuangkan hak-hak wanita
adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap
sabar dan bertindak hati-hati dalam hal ini. Tetapi, keadaan ini pun, bukanlah
hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika Serikat (AS) yang dianggap
memelihara hak-hak wanita dan pria secara berimbang menurut Undang-Undang
Dasarnya, ternyata dalam praktik tidak semudah apa yang dianggap seperti
semula. Belum pernah dalam sejarahnya ada presiden wanita, walaupun UUD-nya
tidak pernah melarang akan hal itu. Di sini, ternyata terdapat kesenjangan
besar antara teori dan praktik dalam sebuah masyarakat paling "maju"
sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar