Senin, 23 Januari 2012

ISLAM DAN KEPEMIMPINAN WANITA


ISLAM DAN KEPEMIMPINAN WANITA
oleh : Abdurrahman Wahid


Sejumlah pemimpin partai-partai politik Islam, beberapa tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu adalah ungkapan Al-qur'an "lelaki lebih tegak atas wanita" (al-rijalu qawwamuna 'ala an-nisa), yang dapat diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung jawab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari ucapan mereka di muka umum. Anggapan tersebut, yang pada umumnya menjadi pendapat dunia Islam selama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.

Beberapa sumber tekstual ('adillah naqliyah) melanjutkan anggapan ini dengan ungkapan "wanita hanya mempunyai separuh akal lelaki", dan sumber-sumber sejenis. Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci Al-qur'an dipakai dalam hal ini, yaitu "bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua kali bagian wanita" (hatzu ar-rajuli mithlu hatzi al-unthaya'in), padahal kutipan itu hanya mengenai masalah waris-mewaris saja. Karena itu, pandangan kedua ini, yang masih umum dipakai orang dalam dunia Islam, selalu menilai rendah wanita.

Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah SWT dalam Al-qur'an. "Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan'' (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untha), mengisyaratkan persamaan seperti itu. Perbedaan pria dan wanita bersifat biologis, tidaklah bersifat institusional/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak orang dalam literatur Islam. Akibatnya, masyarakatpun menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri.

Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penu- lis pernah didatangi salah seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan negeri tersebut. Ia meminta agar penulis membacakan surat al-fatehah bagi bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Bukankah, katanya, Rasulullah SAW bersabda, "celakalah sebuah kaum yang dipimpin wanita?'' Bukankah dengan menjadi Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto justru melakukan hal itu?'' Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi? Bukankah Nabi Muhammad SAW menunjuk kepada kepemimpinan abad VII hingga VIII Masehi di Jazirah Arabia? Kepemimpinan suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (individualize leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara justru dilembagakan?

Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui sidang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan, kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen, yang mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak boleh menyimpang dari Undang-Undang Dasar, dengan penjagaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya beranggotakan kaum pria. Anda benar, kata tamu tersebut, namun saya minta Anda tetap saja membaca surat al-fatehah untuk keselamatan bangsa Pakistan.

Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal: sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabad-abad lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama Islam di mata orang-orang itu, dalam kenyataan berlawanan dengan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolah-olah terjadi perbenturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan, ribuan anak-anak perempuan ulama Muslimin justru menjadi sarjana S2 hingga S3, karena UUD memungkinkan hal itu. Bukankah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD kita, termasuk dalam pendidikan?

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Sumatra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang warga masyarakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tanpa mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawininya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di muka Undang-Undang? Karenanya, sidang kabinet yang dihadiri oleh penulis telah memutuskan tidak diperkenankan adanya peraturan daerah tersebut atau produk-produk lain hasil DPRD I atau DPRD II, yang berlawanan dengan Undang-Undang Dasar. Maka, dalam hal ini, mestinya Mahkamah Agung-lah yang memiliki wewenang untuk menyatakan apakah sebuah produk DPRD tersebut melanggar UUD atau tidak. Jika demikian, otomatis produk itu tidak berlaku lagi.

Dari uraian di atas jelaslah, memperjuangkan hak-hak wanita adalah pekerjaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap sabar dan bertindak hati-hati dalam hal ini. Tetapi, keadaan ini pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika Serikat (AS) yang dianggap memelihara hak-hak wanita dan pria secara berimbang menurut Undang-Undang Dasarnya, ternyata dalam praktik tidak semudah apa yang dianggap seperti semula. Belum pernah dalam sejarahnya ada presiden wanita, walaupun UUD-nya tidak pernah melarang akan hal itu. Di sini, ternyata terdapat kesenjangan besar antara teori dan praktik dalam sebuah masyarakat paling "maju" sekalipun.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar