ISLAM DAN
KESABARAN
Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam ajaran Islam, secara eksplisit dan formal dikemukakan
bahwa kesabaran adalah bagian mutlak dari ajaran Islam. Surat Al-qur’an paling
populer juga menyatakan hal ini: “demi masa, manusia akan selalu berada dalam
kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal shaleh, membawakan suara
kebenaran dan mengajak pada kesabaran” (wa al-‘asyri Inna al-Insana la fii
khusrin illa ladziina ‘aamanuu wa ‘amiluu al-ashaalihati wa tawashaw bi
al-haqqi wa tawashaw bi al-sabri).
Ajaran tentang kesabaran itu dikaitkan dengan ketentuan tidak
boleh melakukan kekerasan, kecuali kalau diusir dari rumah tempat tinggal.
Itulah sebabnya, mengapa penulis memanggil Jenderal Luhut Panjaitan sebelum
lengser dari Istana Merdeka. Pak Luhut, kata penulis, tolong carikan surat
perintah meninggalkan Istana, agar saya tidak usah bertindak keras menentang
siapapun yang mengusir saya dari tempat ini. Kewajiban saya untuk taat pada
pemerintah dilambangkan oleh adanya surat perintah tersebut. Tanpa adanya surat
perintah itu, saya terpaksa akan melawan dengan kekerasan, keinginan orang agar
saya meninggalkan Istana dengan cepat.
Saya tidak menilai tinggi arti kepresidenan, yang tidak lain
adalah jabatan untuk mengabdi pada rakyat. Karenanya, jabatan seperti Presiden
Republik Indonesia (RI) tidak harus dipertahankan dengan mengorbankan jiwa
penduduk negeri ini. Kalau cara memandang arti jabatan pemerintahan dilakukan
secara wajar, maka pergantiannya-pun dapat pula dilakukan secara sama dengan jabatan-jabatan
lain di negeri ini. Sama alaminya dengan banyak tindakan lain yang hanya
mementingkan ambisi pribadi atau kepentingan kelompok terbatas. Kesabaranlah
yang menjadi kata kunci dalam hal ini. Lain halnya dengan konstitusi, yang
harus dipertahankan habis-habisan. Kalau perlu dengan menggunakan semua
kekuatan yang ada, guna meyakinkan rakyat untuk mempertahankan atau
menggantikannya melalui pemilihan umum. Karenannya, diperlukan kemenangan
mutlak lebih dari dari separuh keanggotaan DPR-RI dan MPR-RI, guna memungkinkan
terbentuknya mayoritas tunggal (single majority) melalui pemilu dalam kerangka
ini.
Uraian di atas, menunjukkan sebuah kerangka kesabaran
pribadi/mikro, ataupun kesabaran kolektif/makro yang meliputi seluruh warga
bangsa ini. Itupun sudah dijalankan oleh para pendahulu kita, dengan melakukan
pembentukan negara melalui sistem politik yang bersifat sementara. Tidak pernah
jelas dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, adakah negara kita ini
teokratis ataukah sekuler. Kalau dibaca dengan teliti, batang tubuh UUD 1945
hanya menunjuk pada negara bukan sekuler dan bukan teokratis. Yang berarti,
negara kita sekarang adalah negara yang bukan-bukan. Kewajiban kitalah untuk
melakukan perubahan mendasar terhadap pasal-pasal UUD 1945, mengenai batang
tubuhnya saja.
Benarkah kita menginginkan sebuah pemerintahan yang memiliki
kekuasaan berimbang antara pihak-pihak yudikatif, legislatif dan ekskutif? Jika
itu benar diinginkan, maka presiden-wakil presiden-gubernur-wakil
gubernur-bupati-wakil bupati-wali kota-wakil wali kota, haruslah dipilih
langsung oleh rakyat. Sedangkan Mahkamah Agung (MA) diangkat oleh Presiden
dengan persetujuan DPR-RI, bukannya seperti sekarang, yaitu diusulkan DPR-RI
dan ditunjuk oleh Presiden. Ini berarti, lembaga perwakilan rakyat kita
(DPR-RI), didampingi dalam pembuatan UU oleh DPD-RI (Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia).
Setiap lima tahun sekali DPR-RI berkumpul menjadi satu untuk
menyusun Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam sebuah sidang gabungan,
yang dinamai MPR-RI dan berlangsung sekitar setengah bulan. Seorang wakil
ketua, baik dari DPR-RI maupun dari DPD-RI berfungsi menyusun rancangan GBHN
itu, sehingga MPR-RI memiliki dua buah konsep GBHN yang disatukan yang menjadi
produk resmi dari lembaga gabungan tersebut. Dengan demikian, kita dapat
menyusun sebuah sistem bi-kameral di bidang perwakilan rakyat, mengangkat
langsung pihak ekskutif dan memelihara MPR-RI sebagai sebuah lembaga yang kita
perlukan setiap lima tahun sekali.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa untuk menyusun sistem
politik yang sehat, diperlukan waktu yang cukup lama bagi negara kita. Ini
memerlukan waktu hampir 70 tahun merdeka, sedangkan bagi Amerika Serikat (AS)
ia memerlukan lebih dari 100 tahun kemerdekaan. Perancis juga demikian,
terbukti dari konstitusi kelima yang disyahkan ketika Charles de Gault berhasil
meng-gol-kan rancangan Undang-Undang baru, yang berakhir pada sistem politik
cohabitation (kebersamaan sistem ganda), dengan adanya Presiden yang memiliki
wewenang dalam lima bidang pokok dan Perdana Menteri yang dipilih parlemen yang
berwenang dalam bidang-bidang selebihnya.
Banyak sistem politik yang ditawarkan, di luar sistem politik
AS dan Perancis tersebut. Mungkin kita juga harus menambah jumlah sistem
politik itu, yang membuat kita lain dari AS dan Perancis. Ini dapat terjadi,
karena kita tidak sama dengan AS yang mempunyai 50 negara bagian, dengan
masing-masing memiliki kedaulatan sendiri, sedangkan kita memiliki propinsi
yang masing-masing dengan kedaulatan politik yang kurang dari kedaulatan
politik negara bagian (state). Sebaliknya, keragaman propinsi-propinsi dan
otonomi khusus memerlukan ruang gerak yang cukup besar bagi kegiatan
masing-masing, hal mana terkait dengan letak daerah yang secara geografis sangat
luas dan terpencar di berbagai pulau di negeri kita.
Dalam pengertian ini, jangka waktu sekitar 70 tahun
kemerdekaan yang digunakan untuk menyusun sebuah sistem politik yang definitif
adalah sesuatu yang masuk akal. Dengan tidak terasa, sebagai bangsa kita telah
melakukan sesuatu yang diajarkan oleh kitab suci Al-qur’an; “bersabarlah kalian
dalam menjalani apa yang mengenai diri kalian sendiri” (fa ashbiruu ‘ala maa
aataakum). Di sinilah ternyata arti makro dari salah satu karakter Tuhan yang
tidak terbatas kadarnya, yaitu penghargaannya atas kesabaran mikro dan makro
kita (sabrun jamiil, kesabaran adalah keindahan). Menarik sekali, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar