PENCURI
Ia menarik nafasnya satu-satu yang tersengal karena tatapan
serdadu-serdadu itu. Berkali-kali mereka menatap wajahnya,
tapi mereka
tetap saja tidak sanggup melawan makhluk satu ini. Sesekali
dengan sudut
matanya ia melirik mereka. Sementara borgol yang membelenggu
tangannya
mengisap darahnya dengan buas, di tangan iu sesungguhnya ada
lolongan
yang menyayat. Begitulah sejarah, hanya mengenal nama.
Mobil itu bergetar dan berjalan sempoyongan. Lemparan batu di
jalan
membuatnya gelisah, dan lumuran darah yang lengket di bodi
mobil itu
seketika tampak sebagai sebuah ketololan. Kedua serdadu
israel yang
mengawasinya dari waktu ke waktu memperhatikan borgol yang
membelenggu
tangannya. Mereka ingin menemukan sebentuk kekalahan pada
tubuhnya yang
berlumuran darah. Kebisuannya menakutkan keduanya, hingga
mereka terus
menodongkan moncong senjata ke mukanya. Ia melemparkan
tubuhnya ke kursi,
ia benar-benar lelah, namun matanya dengan nyalang mengitari
ruangan itu.
Setetes darah mengucur dari tangan Amir diikuti tatapan geram
serdadu
itu. Kesedihan adalah kegilaan berdarah, dan bayang-bayang
yang
melintangi garis menuju tepian yang aneh dan mustahil.
Perjalanan itu tidaklah terlalu panjang untuk dikhawatirkan.
Tetapi kedua
serdadu tersebut melawan ketakutannya dengan pengawasan yang
terkesan
aneh. Walau ia terbelenggu borgol dan menanggung rasa sedih,
keduanya
dicekam ketakutan.
Beberapa butir air hangat mengalir di kelopak matanya,
menyirami luka di
wajahnya dengan salju kesedihan. Ia pun makin terluka. Ah!
Celakalah
engkau wahai kesedihan! Celakalah engkau wahai airmata yang
selalu
mencari wajah yang tercabik.
Judul : PENCURI
(bag 2)
Dari : Linda
Tanggal: Tue Apr 16
Belum pernah ia merasakan kedekatan dengan Allah seperti
sekarang. Ia
menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk membatinkan sesal:
(andaikata
waktu dapat diperbarui, mungkin aku sudah menjadi orang lain.
Tetapi
waktu seperti ombak yang mewarnai dirinya sendiri, dengan
cepat
beradaptasi dengan benda-benda lain, dan mempertahankan
gelora tubuhnya
dengan memangsa kulit para jawara).
Ditatapnya moncong senjata api yang ditodongkan ke wajahnya.
Dalam nada
cemooh ia berkata pada diri sendiri: "Sejarah hanya
ditulis oleh
orang-orang kuat. Hanya orang yang hidup dalam bayang-bayang
yang dapat
membacanya."
Ingatannya kembali ke Al-Quds. Dengan telapak kakinya ia
mencoba
merasakan Tanah suci yang dibasahi hujan. Lama ia berdiri di
depan pintu
masjid suci itu. Ayahnya berjalan dengan sebuah tongkat kecil
yang
dipungutnya dari Kroum. Sedang pamannya bagai wajah musim
semi yang selalu
tersenyum kepada musim-musim lainnya.
Orang-orang memasuki masjid suci dengan senyum, tangan-tangan
saling
berjabatan penuh rasa cinta. Itu terasa aneh bagi serdadu-serdadu yang
berdiri di situ, dengan segala ketakutan dan kebosanannya.
Mereka yang
masuk dan berada di sana terus mengulang-ulang ucapan
muadzin.
Ia tidak masuk bersama mereka. Untuk pertama kali ia
menunjukkan
pembangkangan bisu. Ia berlari menuju gunung thur, membawa
beberapa buku.
Jamil berkata kepadanya, "Itu dilarang".
Jamil bukan sekedar sahabatnya, ia bagian dari jantung
hatinya yang
berdetak di tempat lain. Ungkapan-ungkapan langka seringkali
membawa
nuansa tersendiri, menyusupi celah-celah pemikiran penuh
gairah,
kebebasan, keadilan, perdamaian, emansipasi, hak asasi
manusia. itu
seuntai kata, menurut Jamil, sangat terlarang.
Ayahnya sering marah karena Amir mulai jarang sholat di
masjid suci itu.
Buku-buku kelihatan lebih banyak menyita waktunya. Ia
menghuni buku-buku
itu, sebelum buku-buku itu menghuninya. Suatu ketika pamannya
berkata:
"Buku tidak selalu mengandung kebenaran. Tiap kata bisa
membawa lebih
dari satu hati, yang berdenyut dalam dirimu dan
membunuhmu."
Ia hanya tersenyum, dengan ekspresi mencemooh. Lalu sembari
berjalan ia
membantah pamannya dengan nada tinggi:
"Apa yang paman tahu tentang kebebasan, tentang
revolusi, tentang
perdamaian? Tak ada yang paman tahu selain sholat dibawah
todongan
senjata mereka. Sudah saatnya kita belajar dari pengalaman
bangsa-bangsa
lain."
"Belajarlah dari pengalaman dulu. Pahami dirimu, setelah
itu pahamilah
orang lain."
"Bagaimana paman dapat mengatakan hal ini, padahal Paman
paling banyak
membaca buku ? "
"itu karena saya membacanya dengan mataku sendiri, bukan
dengan mata
penulisnya."
Judul : PENCURI
(bag 3)
Dari : Linda
Tanggal: Tue Apr 16
Ia menatap nanap. Ia membungkuk bingung, lalu keluar tanpa
sepatah pun
kata pamit dari pamannya. Tapi pamannya berteriak
memanggilnya: "Amir !"
Ia berpaling padanya, dan kemudian melanjutkan peringatannya:
"Jamil
mencintai kehidupan lebih dalam dari yang paman duga."
"mencintai hidup bukanlah aib."
"Akan tetapi hal itu menjadi kelemahan bagi orang yang
tak punya tekad."
"Sampai kapan kematian akan menjadi jalan bagi kita
menuju kehidupan?
banyak orang mati sia-sia, padahal sebenarnya kita bisa hidup
damai,
tanpa terlalu banyak nyawa melayang dan kerugian."
"Perdamaian apa yang kamu bicarakan. Perdamaian yang dengannya
kamu akan
mempersembahkan sebagian tubuhmu untuk putra Awa? atau
perdamaian yang
meungkinkan kamu untuk berteman dengan aidit?"
"Aidit juga mencari perdamaian seperti kita. Ia membenci
darah dan
memimpikan suatu negara tempat kita dapat hidup bersama tanpa
kesedihan."
"Ucapkan kalimat ini pada ibumu yang kehilangan matanya
karena terlalu
banyak menangis. Katakan ini kepad saudaramu, Usman, kalau
kamu berani,
biar kamu menyaksikan bagaimana batu-batunya akan menjawabmu.
Siapa yang
akan mengeringkan air mata yang telah mereka gali di dada
kita? Siapa
yang akan menjabat tangan yang mencabik tubuhnya dengan
peluru?"
"Sejarah tidak selalu berkuah darah. Kita segera akan
terbiasa hidup
bersama mereka jika kita bisa menyepakati penyelesaian
damai."
"Itu karena kamu membaca sejarah dengan mata mereka.
Tapi anakmu niscaya
akan membacanya dengan mata ibunya, maka ia pasti menangis
dan
melontarkan batu-batu, apa pun resikonya."
"Paman harus realistis. Kita tidak mungkin mengusir
Yahudi dari tanah
air kita."
"Inilah yang diucapkan aidit!"
"Dan itulah kenyataan!"
"Ya, itulah kenyataan yang telah begitu lama kutolak,
yang kamu yakini
pada suatu jenak kepengecutan."
"Orang yang menginginkan perdamaian adalah orang yang kuat."
"Kalau begitu, biarkan orang Yahudi yang
menuntutnya."
"Orang Yahudi terlalu pengecut untuk melakukannya."
"Kamu seperti orang yang rumahnya sudah kemasukan
maling. Ketika mereka
berkeras tidak mau pergi, iapun menawarkan perdamaian dan
membagi
rumahnya dengan si maling. Kemudian kepada keluarganya ia
mengatakan
bahwa hidup adalah hak semua orang, termasuk maling
itu."
"Setengah rumah itu lebih baik daripada tidak sama
sekali."
"Rumah atau mati."
"Pasti hanya kematian yang kita peroleh."
"Tidak apa, kalau itu merupakan harga kepergian
mereka."
"Kita hanya akan menjadi bangkai-bangkai busuk."
"Bukan, kita justru akan menjadi tanah air yang tidak
cocok untuk orang
asing."
"Lantas kemana orang orang Yahudi harus pergi seandainya
kita mengusir
mereka kalau kita tidak mau membagi negeri kita dengan mereka
?"
"Siapa bilang kita harus mengajukan solusi bagi kita dan
mereka ? Mereka
yang merampok, tanah air ini adalah hak kita. Dan mereka
harus keluar
dari sini, titik!"
Ia menatap mukanya lekat-lekat, hampir saja tatapan-nya lebur
dalam
garis-garis wajahnya. Ia lalu melanjutkan: "Perdamaian
harus berarti
bahwa saya mengambil hak saya secara utuh tanpa perang.
Namakan apa saja
yang kamu lakukan, asal bukan dengan perdamaian."
"Tidak semua orang Yahudi bersalah."
"Semua orang yang memaksa hidup di atas tanahku adalah
bersalah. semua
yang memprovokasi pembunuhan anakku bersalah. Semua yang
menanam airmata
di mata ibuku bersalah. Carilah tengkorak adikmu, Aisyah,
sebelum kamu
mencari orang-orang mereka yang tak bersalah."
Tangisnya meledak. Ia ingin melawan kesedihannya tapi
dikalahkan oleh
airmatanya. Ia pun
menyuruh Amir pergi. Ia sendiri berjalan menuju ruang
kecil tempat ia mengajar membaca dan menulis, setelah semua
sekolah
ditutup dan pulpen menjadi benda terlarang bagi tangan-tangan
mungil itu.
Akhirnya anak-anak hanya belajar melontarkan batu-batu.
Amir menjilat bibir bawahnya yang kering. Sambil merasa
seakan terbius ia
memejamkan mata. Lalu tiba-tiba ia membukanya kembali, yang
membuat salah
seorang serdadu Yahudi -yang sejak tadi mengawasinya- menjadi
takut.
Dalam bahasa Ibrani, Amir berkata pada mereka: "Saya mau
minum."
Tak seorangpun menjawab. Ia pun mengulangi permintaannya
dengan nada yang
makin meninggi. Beberapa saat kemudian, setelah bosan menunggu,
ia
menatap mereka dan meludah di lantai mobil. Tak ayal, salah
seorang
serdadu menggebuknya dengan ujung senapan. Amir menjerit
kesakitan. Ia
kembali duduk, dan merasakan kepedihan dalam kebisuan.
Sejurus kemudian
ia memejamkan matanya lagi.
(Aidit menginginkan sebuah negeri yang bersih dari rasa
takut, aidit
membenci peluru, suaranya masih membahana dalam benaknya.)
"Kita tak punya pilihan lain selain perdamaian, senjata
hanya memberi
kita kematian."
"Saya sudah bosan menanam pohon yang dapat dicabut,
setiap saat mereka
akan mencabutinya. Orang-orang yang sudah mati tak akan
kembali lagi."
"karena itulah kita mencari perdamaian."
"Sejak kita memulai permainan kotor itu, saya lebur
secara diam-diam. Dan
ternyata persahabatan ini adalah kebohongan dimana saya
memaksakan diriku
untuk mempercayainya."
"Jangan melakukan lagi tindakan tolol itu. sebab mungkin
saya tidak akan
berhasil mengeluarkan kamu dari penjara, seperti yang terjadi
sebelumnya."
"Ayo ke nerakalah, Aidit. Saya masih tetap bersuka cita
setiap kali ada
tentaramu yang dibunuh, dan kamu masih saja melihat darah
kami dengan
mata yang gersang. Katakan, bagaimana luka dan pisau bisa
hidup
berdampingan? Dan bagaimana itu bisa didekap oleh satu tubuh
kuat yang
menolak kematian?"
Mobil itu berhenti. Mereka terus memandanginya sambil
menyuruh turun, dan
membawanya ke penjara. Ia menatap mereka diam-diam. Segera
setelah itu
mereka melepas borgolnya, menjebloskannya ke dalam kegelapan
dan
meninggalkannya, agar ia tidak merasakan kehangatan.
Ia melihat sekelilingnya, hanya ada dinding, gelap dan
dingin. Oh, betapa
mengirisnya dingin dalam penjara. Bahkan, andaikata mereka
memenjarakan
kamu di bawah terik matahari, kamu tetap akan mati
kedinginan."
Tangannya masih mengucurkan darah, jantungnya masih berdetak,
masjid suci
tampak perkasa dari kegelapan penjara. Senyum pamannya seakan
menjebol
dinding untuk mencapainya. Ia mengangkat tangannya, menulis
ungkapan
kecil di dinding penjara itu, lalu tersenyum dalam-dalam.
Kini serpihan
tubuh Aisyah berkumpul kembali. Sementara Amir telah menjadi
serpihan
daging yang dikuburkan di tempat yang amat jauh, jauh sekali!
Namun merah
darahnya tetap menuliskan amarah di dinding penjara itu:
rumah atau mati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar