Senin, 23 Januari 2012

PENCURI


PENCURI

Ia menarik nafasnya satu-satu yang tersengal karena tatapan
serdadu-serdadu itu. Berkali-kali mereka menatap wajahnya, tapi mereka
tetap saja tidak sanggup melawan makhluk satu ini. Sesekali dengan sudut
matanya ia melirik mereka. Sementara borgol yang membelenggu tangannya
mengisap darahnya dengan buas, di tangan iu sesungguhnya ada lolongan
yang menyayat. Begitulah sejarah, hanya mengenal nama.

Mobil itu bergetar dan berjalan sempoyongan. Lemparan batu di jalan
membuatnya gelisah, dan lumuran darah yang lengket di bodi mobil itu
seketika tampak sebagai sebuah ketololan. Kedua serdadu israel yang
mengawasinya dari waktu ke waktu memperhatikan borgol yang membelenggu
tangannya. Mereka ingin menemukan sebentuk kekalahan pada tubuhnya yang
berlumuran darah. Kebisuannya menakutkan keduanya, hingga mereka terus
menodongkan moncong senjata ke mukanya. Ia melemparkan tubuhnya ke kursi,
ia benar-benar lelah, namun matanya dengan nyalang mengitari ruangan itu.

Setetes darah mengucur dari tangan Amir diikuti tatapan geram serdadu
itu. Kesedihan adalah kegilaan berdarah, dan bayang-bayang yang
melintangi garis menuju tepian yang aneh dan mustahil.

Perjalanan itu tidaklah terlalu panjang untuk dikhawatirkan. Tetapi kedua
serdadu tersebut melawan ketakutannya dengan pengawasan yang terkesan
aneh. Walau ia terbelenggu borgol dan menanggung rasa sedih, keduanya
dicekam ketakutan.

Beberapa butir air hangat mengalir di kelopak matanya, menyirami luka di
wajahnya dengan salju kesedihan. Ia pun makin terluka. Ah! Celakalah
engkau wahai kesedihan! Celakalah engkau wahai airmata yang selalu
mencari wajah yang tercabik.


Judul     : PENCURI (bag 2)
Dari    : Linda
Tanggal: Tue Apr 16

Belum pernah ia merasakan kedekatan dengan Allah seperti sekarang. Ia
menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk membatinkan sesal: (andaikata
waktu dapat diperbarui, mungkin aku sudah menjadi orang lain. Tetapi
waktu seperti ombak yang mewarnai dirinya sendiri, dengan cepat
beradaptasi dengan benda-benda lain, dan mempertahankan gelora tubuhnya
dengan memangsa kulit para jawara).

Ditatapnya moncong senjata api yang ditodongkan ke wajahnya. Dalam nada
cemooh ia berkata pada diri sendiri: "Sejarah hanya ditulis oleh
orang-orang kuat. Hanya orang yang hidup dalam bayang-bayang yang dapat
membacanya."

Ingatannya kembali ke Al-Quds. Dengan telapak kakinya ia mencoba
merasakan Tanah suci yang dibasahi hujan. Lama ia berdiri di depan pintu
masjid suci itu. Ayahnya berjalan dengan sebuah tongkat kecil yang
dipungutnya dari Kroum. Sedang pamannya bagai wajah musim semi yang selalu
tersenyum kepada musim-musim lainnya.

Orang-orang memasuki masjid suci dengan senyum, tangan-tangan saling
berjabatan penuh rasa cinta. Itu terasa aneh  bagi serdadu-serdadu yang
berdiri di situ, dengan segala ketakutan dan kebosanannya. Mereka yang
masuk dan berada di sana terus mengulang-ulang ucapan muadzin.

Ia tidak masuk bersama mereka. Untuk pertama kali ia menunjukkan
pembangkangan bisu. Ia berlari menuju gunung thur, membawa beberapa buku.
Jamil berkata kepadanya, "Itu dilarang".

Jamil bukan sekedar sahabatnya, ia bagian dari jantung hatinya yang
berdetak di tempat lain. Ungkapan-ungkapan langka seringkali membawa
nuansa tersendiri, menyusupi celah-celah pemikiran penuh gairah,
kebebasan, keadilan, perdamaian, emansipasi, hak asasi manusia. itu
seuntai kata, menurut Jamil, sangat terlarang.

Ayahnya sering marah karena Amir mulai jarang sholat di masjid suci itu.
Buku-buku kelihatan lebih banyak menyita waktunya. Ia menghuni buku-buku
itu, sebelum buku-buku itu menghuninya. Suatu ketika pamannya berkata:
"Buku tidak selalu mengandung kebenaran. Tiap kata bisa membawa lebih
dari satu hati, yang berdenyut dalam dirimu dan membunuhmu."

Ia hanya tersenyum, dengan ekspresi mencemooh. Lalu sembari berjalan ia
membantah pamannya dengan nada tinggi:
"Apa yang paman tahu tentang kebebasan, tentang revolusi, tentang
perdamaian? Tak ada yang paman tahu selain sholat dibawah todongan
senjata mereka. Sudah saatnya kita belajar dari pengalaman bangsa-bangsa
lain."

"Belajarlah dari pengalaman dulu. Pahami dirimu, setelah itu pahamilah
orang lain."

"Bagaimana paman dapat mengatakan hal ini, padahal Paman paling banyak
membaca buku ? "

"itu karena saya membacanya dengan mataku sendiri, bukan dengan mata

penulisnya."


Judul     : PENCURI (bag 3)
Dari    : Linda
Tanggal: Tue Apr 16

Ia menatap nanap. Ia membungkuk bingung, lalu keluar tanpa sepatah pun
kata pamit dari pamannya. Tapi pamannya berteriak memanggilnya: "Amir !"
Ia berpaling padanya, dan kemudian melanjutkan peringatannya: "Jamil
mencintai kehidupan lebih dalam dari yang paman duga."

"mencintai hidup bukanlah aib."

"Akan tetapi hal itu menjadi kelemahan bagi orang yang tak punya tekad."

"Sampai kapan kematian akan menjadi jalan bagi kita menuju kehidupan?
banyak orang mati sia-sia, padahal sebenarnya kita bisa hidup damai,
tanpa terlalu banyak nyawa melayang dan kerugian."

"Perdamaian apa yang kamu bicarakan. Perdamaian yang dengannya kamu akan
mempersembahkan sebagian tubuhmu untuk putra Awa? atau perdamaian yang
meungkinkan kamu untuk berteman dengan aidit?"

"Aidit juga mencari perdamaian seperti kita. Ia membenci darah dan
memimpikan suatu negara tempat kita dapat hidup bersama tanpa kesedihan."
"Ucapkan kalimat ini pada ibumu yang kehilangan matanya karena terlalu
banyak menangis. Katakan ini kepad saudaramu, Usman, kalau kamu berani,
biar kamu menyaksikan bagaimana batu-batunya akan menjawabmu. Siapa yang
akan mengeringkan air mata yang telah mereka gali di dada kita? Siapa
yang akan menjabat tangan yang mencabik tubuhnya dengan peluru?"

"Sejarah tidak selalu berkuah darah. Kita segera akan terbiasa hidup
bersama mereka jika kita bisa menyepakati penyelesaian damai."

"Itu karena kamu membaca sejarah dengan mata mereka. Tapi anakmu niscaya
akan membacanya dengan mata ibunya, maka ia pasti menangis dan
melontarkan batu-batu, apa pun resikonya."

"Paman harus realistis. Kita tidak mungkin mengusir Yahudi dari tanah
air kita."
"Inilah yang diucapkan aidit!"
"Dan itulah kenyataan!"
"Ya, itulah kenyataan yang telah begitu lama kutolak, yang kamu yakini
pada suatu jenak kepengecutan."
"Orang yang menginginkan perdamaian adalah orang yang kuat."
"Kalau begitu, biarkan orang Yahudi yang menuntutnya."
"Orang Yahudi terlalu pengecut untuk melakukannya."
"Kamu seperti orang yang rumahnya sudah kemasukan maling. Ketika mereka
berkeras tidak mau pergi, iapun menawarkan perdamaian dan membagi
rumahnya dengan si maling. Kemudian kepada keluarganya ia mengatakan
bahwa hidup adalah hak semua orang, termasuk maling itu."
"Setengah rumah itu lebih baik daripada tidak sama sekali."
"Rumah atau mati."
"Pasti hanya kematian yang kita peroleh."
"Tidak apa, kalau itu merupakan harga kepergian mereka."
"Kita hanya akan menjadi bangkai-bangkai busuk."
"Bukan, kita justru akan menjadi tanah air yang tidak cocok untuk orang
asing."
"Lantas kemana orang orang Yahudi harus pergi seandainya kita mengusir
mereka kalau kita tidak mau membagi negeri kita dengan mereka ?"
"Siapa bilang kita harus mengajukan solusi bagi kita dan mereka ? Mereka
yang merampok, tanah air ini adalah hak kita. Dan mereka harus keluar
dari sini, titik!"

Ia menatap mukanya lekat-lekat, hampir saja tatapan-nya lebur dalam
garis-garis wajahnya. Ia lalu melanjutkan: "Perdamaian harus berarti
bahwa saya mengambil hak saya secara utuh tanpa perang. Namakan apa saja
yang kamu lakukan, asal bukan dengan perdamaian."

"Tidak semua orang Yahudi bersalah."

"Semua orang yang memaksa hidup di atas tanahku adalah bersalah. semua
yang memprovokasi pembunuhan anakku bersalah. Semua yang menanam airmata
di mata ibuku bersalah. Carilah tengkorak adikmu, Aisyah, sebelum kamu
mencari orang-orang mereka yang tak bersalah."
Tangisnya meledak. Ia ingin melawan kesedihannya tapi dikalahkan oleh
airmatanya.  Ia pun menyuruh Amir pergi. Ia sendiri berjalan menuju ruang
kecil tempat ia mengajar membaca dan menulis, setelah semua sekolah
ditutup dan pulpen menjadi benda terlarang bagi tangan-tangan mungil itu.
Akhirnya anak-anak hanya belajar melontarkan batu-batu.

Amir menjilat bibir bawahnya yang kering. Sambil merasa seakan terbius ia
memejamkan mata. Lalu tiba-tiba ia membukanya kembali, yang membuat salah
seorang serdadu Yahudi -yang sejak tadi mengawasinya- menjadi takut.
Dalam bahasa Ibrani, Amir berkata pada mereka: "Saya mau minum."

Tak seorangpun menjawab. Ia pun mengulangi permintaannya dengan nada yang
makin meninggi. Beberapa saat kemudian, setelah bosan menunggu, ia
menatap mereka dan meludah di lantai mobil. Tak ayal, salah seorang
serdadu menggebuknya dengan ujung senapan. Amir menjerit kesakitan. Ia
kembali duduk, dan merasakan kepedihan dalam kebisuan. Sejurus kemudian
ia memejamkan matanya lagi.

(Aidit menginginkan sebuah negeri yang bersih dari rasa takut, aidit
membenci peluru, suaranya masih membahana dalam benaknya.)

"Kita tak punya pilihan lain selain perdamaian, senjata hanya memberi
kita kematian."
"Saya sudah bosan menanam pohon yang dapat dicabut, setiap saat mereka
akan mencabutinya. Orang-orang yang sudah mati tak akan kembali lagi."
"karena itulah kita mencari perdamaian."
"Sejak kita memulai permainan kotor itu, saya lebur secara diam-diam. Dan
ternyata persahabatan ini adalah kebohongan dimana saya memaksakan diriku
untuk mempercayainya."

"Jangan melakukan lagi tindakan tolol itu. sebab mungkin saya tidak akan
berhasil mengeluarkan kamu dari penjara, seperti yang terjadi sebelumnya."
"Ayo ke nerakalah, Aidit. Saya masih tetap bersuka cita setiap kali ada
tentaramu yang dibunuh, dan kamu masih saja melihat darah kami dengan
mata yang gersang. Katakan, bagaimana luka dan pisau bisa hidup
berdampingan? Dan bagaimana itu bisa didekap oleh satu tubuh kuat yang
menolak kematian?"

Mobil itu berhenti. Mereka terus memandanginya sambil menyuruh turun, dan
membawanya ke penjara. Ia menatap mereka diam-diam. Segera setelah itu
mereka melepas borgolnya, menjebloskannya ke dalam kegelapan dan
meninggalkannya, agar ia tidak merasakan kehangatan.

Ia melihat sekelilingnya, hanya ada dinding, gelap dan dingin. Oh, betapa
mengirisnya dingin dalam penjara. Bahkan, andaikata mereka memenjarakan
kamu di bawah terik matahari, kamu tetap akan mati kedinginan."

Tangannya masih mengucurkan darah, jantungnya masih berdetak, masjid suci
tampak perkasa dari kegelapan penjara. Senyum pamannya seakan menjebol
dinding untuk mencapainya. Ia mengangkat tangannya, menulis ungkapan
kecil di dinding penjara itu, lalu tersenyum dalam-dalam. Kini serpihan
tubuh Aisyah berkumpul kembali. Sementara Amir telah menjadi serpihan
daging yang dikuburkan di tempat yang amat jauh, jauh sekali! Namun merah
darahnya tetap menuliskan amarah di dinding penjara itu: rumah atau mati!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar