ISLAM DAN
HAK ASASI MANUSIA
Oleh Abdurrahman Wahid
Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi
Manusia (HAM), seringkali menyebutkan Islam sebagai agama yang paling
demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
Justru di negeri-negeri muslim-lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas
HAM, termasuk di Indonesia.
Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat
Islam sebagai acuan ideal, yang sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaaan
demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong
saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maudoodi,
seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di
abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM.
Baginya, bahkan hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada.
Nasionalisme adalah idiologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan
Allah swt.
Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah swt
dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan hubungan
antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan
manusia? Al-Maudoodi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada
akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.
Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah
buatan Ali Jinnah dan Lia Quat Ali Khan, yang kemudaian melahirkan Pakistan,
yang tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam
Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam
pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Pervez
Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan kepresidenan negeri itu
melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan
tuduhan-tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim,
sebagai orang-orang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?
*****
Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi
atas deklarasi universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan
jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia.
Padahal Fiqh /Hukum Islam sampai hari ini masih berpegang
pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak
kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di
negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah
agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati.
Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan
ada jawabnya, karena hal itu merupakan kenyataan yang demikian besar
mengguncang perasaan kita.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dihadapan kita hanya ada
satu dari dua kemungkinan: menolak deklarasi universal HAM itu sebagai sesuatu
yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan Al-Maudoodi terhadap Nasionalisme
atau justru merubah diktum fiqh/Hukum Islam itu sendiri.
Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta
yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan
indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti
menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.
Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme
untuk merubah ketentuan fiqh/Hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad
diikuti. Tetapi disinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana
menetapkan keimanan kita pada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu yang tidak
bisa ditawar lagi. Beserta beberapa Hukum Muhkamat lainnya, kita harus memiliki
keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat
diubah-ubah maka hilanglah ke-islaman kita.
Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak
sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi Al-Qur’an dan Al-Hadits (tradisi
kenabian).
Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh
bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan
pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak
diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh
kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak
lama lagi, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.
Karena itu kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal
ini mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan,
kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan.
Firman Kitab Suci Al-qur’an, "tiadalah yang tetap dalam
kehidupan kecuali wajah Tuhan" (walam yabqa illa wajha Allah) menunjukkan
hal itu dengan jelas. Ketentuan Ushul Fiqh (Islamic Legal Theory) "hukum
agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak
adanya hukum itu sendiri" (yaduuru al-hukmu ma’a ‘illatihi wujudan wa
‘adaman) jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi
terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan
"perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang
digunakan".
Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu
dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan
Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin
tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi
di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom
atau menjauhi obat-obat yang dapat mengatur kelahiran.
Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam patut menjadi agama di
setiap masa dan tempat (yasluhu kulla zamanin wa makan). Indah bukan, untuk
mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar