PENDIDIKAN
ISLAM HARUS BERAGAM
Oleh: Abdurrahman Wahid
Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, berlangsung di
Beirut (Lebanon) tanggal 13-14 Desember 2002 yang diselenggarakan oleh Konrad
Adenauer Stiftung, ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan agama,
hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang
terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar
haruslah mengajarkan “ajaran formal” tentang Islam. Termasuk dalam barisan ini
adalah dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari Universitas
Al-Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan “pendidikan Islam yang benar“
memang terjadi, tapi tidak ada seorang peserta-pun yang menafikan dan
mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis
sendiri membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai bagian dari
pendidikan Islam.
Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari
berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” yang menggunakan
simbol-simbol budaya jawa; sebagai “agen pembaharuan” yang memeperkenalkan
gagasan pembangunan pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan
belajar masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada silabi, yang dibawakan
oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu, dalam Itman
al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional
selama ini, dengan pengembangan “kajian Islam” yang terbagi dalam 14 macam
disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik
hingga tafsir al-Qur’an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam
lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui
pondok pesantren juga nilai ke-Islam-an ditularkan dari generasi ke generasi.
Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik
sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi ke generasi. Di
satu sisi, ajaran-ajaran formal Islam dipertahankan sebagai sebuah “keharusan”
yang diterima kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga
terdapat “benih-benih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di
sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang
perbedaan antara kaum muslimin di suatu kawasan ini, penulis pernah mengajukan
sebuah makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang
perlu adanya “study kawasan” tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya
Afrika Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki-Persia-Afghan, budaya Islam
di Asia Selatan, budaya Islam di Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di
kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini
diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal Islamic study’s).
*******
Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada dua hal
yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal itu adalah, pembaharuan
endidikan Islam dan modernisasi pendidikan Islam, dalam bahasa Arab taj’did
al-tarbiyah al-Islamiah dan al-hadasah, dalam liputan istilah pertama, tentu
saja ajaran-ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum muslimin harus di
didik mengenai ajaran-ajaran agama mereka. Yang diubah adalah cara
penyampaiannya kepada peserta didik, sehingga mereka akan mampu memahami dan
mempertahankan “kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat
dilihat pada kesungguhan anak-anak muda muslimin terpelajar, untuk menerapkan
apa yang mereka anggap sebagai “ajaran-ajaran yang benar” tentang Islam, contoh
paling mudahnya adalah menggunakan tutup kepala di sekolah non-agama, yang di
negeri ini dikenal dengan nama jilbab. Ke-Islaman lahiriyah seperti itu, juga
terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun ke-tahun yang melakukan
ibadah umroh/ Haji kecil.
Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak dapat diabaikan di
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di negeri manapun. Dengan kata lain,
pendidikan Islam tidak hanya di sampaikan dalam ajaran-ajaran formal Islam di
sekolah-sekolah agama/madrasah belaka, melainkan juga melalui sekolah-sekolah
non-agama yang berserak diseluruh penjuru dunia. Demikian juga, “semangat
menjalankan ajaran Islam”, datangnya lebih banyak dari komunikasi di luar
sekolah, antara berbagai komponen masyarakat Islam. Hal lain yang harus
diterima sebagai kenyataan hidup kaum muslimin di mana-mana, adalah respon umat
Islam terhadap “tantangan modernisasi”, seperti pengentasan kemiskinan,
pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya
bagi pendidikan Islam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.
Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan”
responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu
justru belum ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan
hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban
yang benar atas pernyataan berikut: Bagaimanakah caranya membuat kesadaran
struktural sebagai bagian natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan
ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan Islam di berbagai
tempat, dan membuat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu
sendiri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan
baik.
******
Jelas dari uraian diatas, pendidikan Islam memiliki begitu
banyak model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan
non-formal” seperti pengajian, arisan dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi,
keragaman jenis dan corak pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah
air kita dewasa ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat
lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai
sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita
tentang pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu
sisi belaka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari
pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja menjadi berat tugas para perencana
pendidikan Islam, kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi
perjuangan pendidikan Islam.
Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan penjabaran
tarekat dan gerakan shalawat nabi, yang terjadi demikian cepat dimana-mana.
Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti itu sebenarnya berbicara sangat
nyaring, namun kita sendiri yang tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam
yang memperoleh kedamaian dengan ritual memuja nabi itu, dengan sendirinya
berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup nabi yang diketahuinya, yaitu
kepatuhan kepada ajaran Islam. Ritual itu tentu saja akan menyadarkan kembali
orang tersebut ,kepada kehidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (Juz’i)
belaka. Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan sosial” yang
tidak dapat kita pungkiri dan diabaikan.
Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti
dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak mengabaikan kenyataan
yang ada. Lagi-lagi kita berhadapan dengan kenyataan sejarah, yang mempunyai
hukum-hukumnya sendiri. Perkembangan keadaan, yang tidak memperhitungkan hal
ini, mungkin hanya bersifat menina-bobokan kita belaka, dari tugas sebenarnya
yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap untuk mengabaikan keberagaman ini,
adalah sama dengan sikap burung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah
timbunan pasir tanpa menyadari badanya masih tampak. Jika kita masih bersikap
seperti itu, akibatnya akan menjadi sangat besar bagi perkembangan Islam di
masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik adalah membiarkan
keaneka-ragaman sangat tinggi dalam pendidikan Islam dan membiarkan
perkembangan yang akan menentukan. Sebuah hal yang sulit dilakukan, namun
gampang dirumuskan. Nyatanya memang benar demikian, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar