Kamis, 19 Januari 2012

TERSENYUMLAH SAYANG



Ada kabar dari Albert Bandura. Dalam tulisannya berjudul Social Foundations of Thought and Action dalam buku Health Psychology Reader (2002), Bandura menguraikan bahwa kompetensi efektif seseorang tidak hanya ditentukan oleh keterampilan yang ia miliki. Bila Anda memiliki keunggulan dalam bidang komputer, tidak serta-merta kompetensi efektif Anda akan lebih tinggi daripada orang lain yang kecakapannya dalam bidang komputer sedikit di bawah Anda. Ada hal lain yang dibutuhkan agar kompetensi yang kita miliki benar-benar berfungsi efektif, yakni kepercayaan terhadap efikasi diri (self-efficacy), yakni harapan atau keyakinan untuk sukses.

Saya perlu menambahkan kata keyakinan untuk menunjukkan pengertian efikasi diri, karena harapan pada orang yang memiliki efikasi diri berbeda dengan angan-angan atau khayalan tentang sukses. Harapan untuk sukses berasal dari pengalaman yang dipelajari, terutama dari orangtua. Bila orangtua memberi kepercayaan pada anak sehingga memungkinkan anak belajar meningkatkan kemampuan dirinya, setiap inisiatifnya dihargai, dan dia sebagai anak tidak banyak dikecam oleh orangtua dan lingkungan terdekatnya yang berpengaruh, ia akan belajar menemukan harga diri (self-esteem).

Kepercayaan orangtua mempengaruhi pertumbuhan mental dan kepribadian anak. Banyak keunggulan-keunggulan intelektual maupun sosial yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan yang diterima anak. Berkat kepercayaan orangtua kepadanya, anak memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar pada saat ia masih kecil, yakni basic trust (kepercayaan dasar). Kepercayaan dasar yang kuat akan membuat anak merasa aman dan nyaman, sehingga ia berani mencoba, belajar menghargai dirinya sehingga jika benar-benar terkelola dengan baik pada akhirnya akan membuahkan kekuatan self-reward —keadaan dimana anak tidak perlu mendapat dukungan dari luar sudah menemukan kebahagiaan manakala ia menuai keberhasilan. Kepercayaan dasar juga membuat anak merasa dirinya berharga dan merasa terlindungi.

Apa yang terjadi bila anak tidak mempunyai kepercayaan dasar yang baik? Salah satu anak saya pernah mengalami. Ketika lahir, pihak rumah bersalin tidak segera memberikan kepada ibunya. Entah apa alasannya, rumah-bersalin tersebut sering memberi perlakuan seperti itu kepada bayi-bayi yang baru lahir di sana. Anak tidak diberikan kepada ibunya untuk segera disusui, padahal yang paling baik adalah bayi sesegera mungkin disusui oleh ibunya, didekap oleh ibunya, sehingga mempercepat terjadinya bonding, yakni ikatan batin antara ibu dan anak. Bila ada bonding yang kuat antara ibu dan bayinya yang baru lahir, insya-Allah akan memudahkan pengasuhan. Ia menjadi bayi mudah (easy baby), maksudnya ia mudah ditangani, tidak banyak rewel, dan komunikatif. Ia juga mudah menyesuaikan diri dengan orang-orang baru karena kepercayaan dasarnya terbangun semenjak detik-detik pertama lahir. Di antara hikmatut-taysri' (hikmah disyari'atkannya) adzan atau mentalqin anak dengan kalimat laa ilaha illallah pada awal-awal kelahirannya adalah membentuk kepercayaan dasar (basic trust) yang kuat dan menstimulasi kecakapan intelektual serta bahasa anak.

Kembali pada masalah kepercayaan dasar. Bila anak memilikinya semenjak awal kelahiran, ia akan mengembangkan rasa aman (secure feeling). Rasa aman inilah yang membuatnya mau mengambil inisiatif tersenyum untuk menarik perhatian orang dewasa. Orang psikologi biasa menyebutnya senyum sosial, meski sebenarnya tidak hanya bermanfaat untuk mengembangkan kecakapan sosialnya. Rasa aman itu menumbuhkan keberanian berinisiatif pada situasi-situasi yang telah dikenalnya maupun situasi baru, bersama orang yang dikenalnya maupun bersama orang yang masih asing. Bila anak kurang memiliki rasa aman, jauh sedikit dari orangtua sudah menangis, sehingga hampir-hampir orangtua tidak pernah bisa beranjak karena anak selalu menghendaki kedekatan secara fisik untuk bisa memiliki rasa aman pada tingkat minimal.

Pada anak yang kurang memiliki rasa aman, ia mengalami hambatan psikologis untuk berinisiatif. Ia juga tidak memiliki keberanian untuk melakukan segala sesuatu "secara mandiri" tanpa bantuan orangtua atau orang terdekat lainnya. Ia belajar untuk memiliki ketergantungan. Pada taraf yang mengkhawatirkan, rendahnya rasa aman membuat ia takut berada pada situasi asing maupun berhadapan dengan orang asing, bahkan ketika orangtua ada di sampingnya. Meskipun ia sedang berada di pangkuan ibundanya, ketakutan itu tetap muncul ketika orang ingin mengajaknya berkomunikasi. Ia merasa tidak nyaman berada pada situasi yang ia belum benar-benar sangat terbiasa. Suasana baru terasa sebagai ancaman yang menimbulkan ketakutan (fear) dan kecemasan (anxiety). Tentu saja ini merupakan keadaan yang membahayakan pertumbuhan mental anak, karena anak kehilangan inisiatif sosialnya, kehilangan daya kreatifnya dan tidak mampu membangkitkan inisiatif —apalagi inovasi— meskipun secara intelektualnya IQ-nya sangat tinggi.

Kembali ke soal anak saya tadi. Situasi yang tidak menguntungkan di awal-awal kelahirannya itu akhirnya memang membuat dia kurang memiliki rasa aman. Paling tidak dibanding saudara-saudara yang lainnya. Berbekal harapan ingin memperbaiki keadaan, saya memutuskan untuk mengambil pembantu. Bayangan saya, dengan mempunyai pembantu yang sudah punya anak, naluri keibuannya akan muncul. Meskipun pengasuhan anak tetap akan dipegang oleh istri saya, tetapi bagaimana pun juga anak-anak saya tidak bisa tidak pasti akan berinteraksi dengan pembantu. Karena itu, mencari pembantu yang sudah punya anak saya harap dapat membangkitkan naluri keibuannya sehingga tumbuh kasih-sayang yang tulus dan kelembutan dalam menghadapi anak.

Benar saja. Sesuai asumsi semula, naluri keibuan pembantu saya memang bangkit, tetapi manifestasinya bukan lemah-lembut terhadap anak. Sebaliknya, ia justru sangat kasar terhadap anak, terlalu memproteksi anak sehingga tidak memungkinkan bagi anak-anak untuk menumbuhkan inisiatifnya. Dan lebih menyedihkan lagi, ia senantiasa merenggut anak-anak, terutama yang paling kecil, dari kami. Padahal keputusan untuk mengambil pembantu itu awalnya kami maksudkan agar kami bisa lebih banyak memperhatikan anak-anak, terutama anak yang mengalami masalah, agar jiwanya bisa mengalami pertumbuhan yang lebih baik. Bukan justru membuatnya terpisah dari orangtuanya, meski masih tinggal serumah.

Saya senantiasa teringat dengan Rasulullah Saw. Beliau banyak memberi contoh bagaimana menumbuhkan kekuatan jiwa pada anak-anak dan cucunya, membangkitkan keunggulan mereka, serta memberi kedamaian pada jiwa mereka dengan kasih-sayang, perhatian yang tulus, serta keakraban yang hangat. Dialah yang merelakan dirinya ditunggangi oleh cucunya untuk main kuda-kudaan; dialah yang senantiasa mencium anak-anak maupun cucunya sehingga menyebabkan Aqra' bin Habis At-Tamimi berkomentar, "Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak satu pun dari mereka yang pernah kucium." Rasulullah Saw. lalu menjawabnya dengan ungkapan yang fasih, "Apa dayaku bila Allah telah mencabut kasih-sayang dari hatimu." Rasulullah saw lalu menunjukkan, tidak akan disayang orang yang tidak menyayangi anaknya.

Ya… ya… ya…. Inilah Rasulullah Saw yang mencontohkan kepada kita bahwa membangkitkan keunggulan dan kekokohan jiwa anak, adalah dengan memberi landasan perhatian dan penerimaan yang hangat. Inilah yang membuat kepercayaan dasar anak sangat kokoh, sehingga pada dirinya tumbuh rasa aman. Rasa aman ini kemudian membuat anak mengembangkan inisiatif-inisiatifnya, baik yang bersifat intelektual maupun sosial. Karena itu, ketika kami melihat perkembangan anak-anak justru mengalami kemerosotan yang tajam setelah memiliki pembantu, kami segera mengambil tindakan. Terlebih anak saya yang baru berusia sekitar 11 bulan, benar-benar menyedihkan keadaannya. Yang awal-awal kelahirannya memang telah terenggut kesempatannya untuk membentuk ikatan batin (bonding) yang baik dengan ibunya, hari ini dia tak lagi bisa tersenyum. Sebelum mempunyai pembantu, ia masih memiliki inisiatif untuk bermain, melakukan kontak sosial sederhana dengan orangtua dan lingkungan sosialnya yang terdekat, hari ini ia mengalami ketakutan meski hanya untuk merangkak ke teras rumah. Apalagi untuk melakukan hal-hal lain yang berguna baginya. Ini merupakan kondisi yang cukup membahayakan. Karena itu, kami segera mengambil keputusan. Sebelum segala sesuatunya menjadi buruk, sebelum kekeruhan jiwanya tak lagi bisa dibersihkan, saya dan istri sepakat untuk melakukan terapi. Alhamdulillah, Allah beri karunia kepada kami berupa pengetahuan tentang psikoterapi. Berbagai agenda kegiatan untuk sementara saya tunda. Kami mencari lingkungan baru dengan menengok orangtua di Kendari, sehingga kami benar-benar bisa menjalin hubungan yang intens dengan anak saya yang satu ini. Dua lainnya saya titipkan pada ibu —nenek mereka— di Jawa Timur. Selama dua minggu saya dan istri senantiasa belajar menumbuhkan keakraban dengannya, menunjukkan kepadanya bahwa lingkungan sekitarnya sangat menyayanginya dan memberi rasa aman yang betul-betul baik, tidak akan merenggutnya secara kasar, dan memberinya kelembutan. Bila ia menangis, maka dada inilah yang akan menghentikan air matanya. Bukan makanan atau gula-gula.

Sungguh, saya merinding bila mengingat peristiwa antara Ummu Al-Fadhl dengan Rasulullah saw. Suatu saat Ummu Al-Fadhl menggendong anaknya, kemudian Rasulullah Saw memintanya. Di gendongan Rasulullah Saw yang mendekapnya dengan hangat, rupanya anak ini pipis. Melihat dada Rasulullah Saw basah oleh kencing anaknya, Ummu Al-Fadhl segera merenggut bayinya secara kasar.

Apa kata Rasulullah Saw? Rasulullah Saw menegur dengan keras. Katanya, "Pakaian yang kotor ini dapat dengan mudah dibersihkan oleh air. Tetapi apakah yang sanggup menghilangkan kekeruhan jiwa anak ini akibat renggutanmu yang kasar?"

Itu sebabnya, kami mencoba memberikan terapi terhadap berbagai masalah psikologis yang dialami oleh anak saya dengan memberinya kasih-sayang dan kehangatan perhatian. Terkadang saya sempatkan mengecup kening anak saya ketika ia berbaring atau saat tertidur. Bersama ibunya, saya ajak ia berbincang-bincang mesra meskipun ia belum mampu bicara sambil tangan kami mengusap-usapnya. Alhamdulillah, setelah berjalan kurang lebih seminggu, senyumnya mulai tampak kembali, inisiatif-inisiatifnya mulai bermunculan, dan kecerdasannya mulai bangkit. Ia mulai banyak berceloteh kembali. Ia memiliki kembali kepercayaan dasar yang hilang. Ia temukan kembali rasa aman yang terenggut. Selanjutnya tumbuh kedekatan yang mesra (attachment) antara dia dengan kami, orangtuanya.

Bicara tentang attachment, saya teringat dengan Diane E. Papalia & Sally Wendkos Olds dalam buku mereka yang berjudul Human Development. Secara jangka panjang, anak-anak yang dibesarkan dengan kemesraan yang kokoh (secure attachment) akan lebih bebas bereksplorasi untuk memenuhi rasa ingin tahunya dalam kehidupan sehari-hari, lebih memiliki keberanian untuk mencoba hal-hal baru atau pun mengungkapkan gagasan, dapat menghadapi masalah dengan cara-cara yang baru, dan menjadi lebih nyaman serta mudah menyesuaikan diri terhadap orang-orang yang belum begitu akrab. Pada usia 2 tahun, anak yang memiliki kedekatan yang kuat (securely attached children) akan lebih antusias, persisten, mudah diajak kerjasama, dan secara umum lebih efektif dibanding anak-anak yang kurang memiliki kedekatan perasaan dengan bapak ibunya. Demikian yang dapat saya catat dari Papalia & Olds.

Bila anak-anak kita memiliki kedekatan yang baik dengan orangtuanya, kelak ia akan lebih besar rasa ingin tahunya, lebih kompeten dan memiliki keterampilan sosial yang lebih baik. Ia lebih mudah akrab, meskipun pendiam. Ia mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru. Sebaliknya anak yang kedekatannya dengan orangtua sangat kacau, cenderung mudah mengalami problem-problem psikis, sulit diajak komunikasi, dan rawan mengalami kompleks rendah diri. Anak-anak yang semacam ini mudah mengalami perasaan sebagai anak yang tidak beruntung, jelek, tidak hebat dan tidak memiliki keunggulan yang layak dikembangkan. Bila ia telah merasa sebagai the bad (yang buruk), saya tak berani membayangkan apa yang terjadi?

Alhasil, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah Saw, membangkitkan keunggulan anak, keimanan yang kokoh dan keterampilan sosial yang baik adalah dengan memberinya landasan kepercayaan dasar yang baik. Membangun keyakinan yang mantap, kreativitas dan inovasi yang segar adalah dengan menjadikannya memiliki efikasi diri yang tinggi. Seperti kata Bandura di buku The Health Psychology Reader (Sage Publication, 2002), yang membuat kompetensi kita benar-benar berfungsi efektif adalah efikasi diri yang tinggi. Sementara bila kita ingin anak-anak kita memiliki keberanian berinisiatif dan tidak lemah, mereka membutuhkan rasa aman yang kuat dari orangtua. Maka, apabila engkau inginkan anak-anakmu tumbuh dengan baik dan memiliki keunggulan, buatlah agar mereka tersenyum kepadamu. Dalam diri mereka insya-Allah akan tumbuh kekokohan jiwa yang kuat, sehingga engkau tinggal menyemainya. Inilah yang kelak mampu menumbuhkan adversity quotient yang tinggi, yakni kualitas mental untuk pantang menyerah.

Nah, sudahkah engkau peluk anakmu hari ini?•

Tidak ada komentar:

Posting Komentar